KALAULAH postingan di berbagai media sosial tentang Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dilihat dengan kacamata yang lebih kritis, bakal muncul sebuah pemahaman baru.
Yaitu munculnya kelompok masyarakat yang begitu marah dan tidak suka terhadap BTP, dikarenakan BTP dijadikan sosok tumpangan kepentingan oleh para konglomerat keturunan Tionghoa.
Para konglomerat menjadikan BTP sebagai "pintu masuk" ke kekuasaan yang tertinggi di Indonesia.
Jadi kemarahan muncul bukan karena BTP ambisius dan tidak tahu diri.
Bahwa ada faktor yang langsung terkait dengan sifat dan penampilan BTP, tetapi secara unsur dan elemen, prosentasenya tidak besar atau dominan.
BTP tetap menjadi sasaran kemarahan. Tapi juga bukan karena cara bicara BTP yang banyak menggunakan umpatan 'kebon binatang' atau karena sifatnya yang arogan dan kasar.
Tidak pula disebabkan BTP berasal dari kelompok minoritas ganda: keturunan Tionghoa dan beragama Nasrani.
Indikator tentang persepsi ini antara lain terlihat dari salah satu postingan Hatta Taliwang, seorang aktivis pro demokrasi dan kesetaraan tapi sebelumnya merupakan seorang politisi.
Kemarin sore, Jumat 1 April 2016, Hatta Taliwang melepas sebuah catatannya yang cukup panjang. Antara lain berisi daftar sejumlah konglomerat keturunan Tionghoa. Selain pengemplang BLBI mereka juga menjadi 'Teman Ahok'.
Hatta Taliwang sendiri merupakan salah seorang pendiri Partai Amanat Nasional (PAN). Dia juga pernah menjadi anggota DPR-RI mewakili PAN.
Dalam kiprahnya sebagai aktivis, Hatta Taliwang banyak melakukan gugatan berbagai UU di Mahkamah Konstitusi.
Saat ini Taliwang memimpin sebuah LSM bermama Yayasan Soekarno-Hatta. Yayasan ini termasuk yang sangat aktif menggelar berbagai diskusi terutama yang berkaitan dengan praktek politik kotor.
Dia termasuk yang paling vokal menentang usaha BTP yang mau menjadi Gubernur DKI kembali pada Pilkada 2017.
Hanya saja, begitulah sifat atau budaya bangsa Indonesia. Kadangkala ataupun terlalu sering menyampaikan sesuatu yang berbeda, manakala sedang emosi atau marah. Ini yang terjadi dalam kasus BTP.
Ketidakpuasan terjadi karena praktek konglomerat hitam, tapi yang jadi sasaran politikus Tionghoa setara BTP. Sikap Hatta Taliwang terhadap orang Tionghoa tidak selalu sama. Dia misalnya membedakan Kwik Kian Gie (KKG) dengan BTP, dalam arti lebih menghargai KKG.
Alasan dan sekaligus menjadi penyebab utama mencuatnya kemarahan tidak diungkap, tetapi berputar-putar ke soal yang lain.
Jadi kemarahan, ketidaksukaan bahkan kebencian terhadap BTP, alasannya, jauh panggang dari api yang sebenarnya.
BTP hanya menjadi sosok representasi dan sasaran antara saja.
Yang menjadi sasaran kebencian sebenarnya adalah para konglomerat keturunan Tionghoa yang mendapat julukan konglo hitam.
Mereka menjadi sasaran kemarahan atau sorotan, karena menjelang Pilkada 2017, disebut-sebut sedang atau sudah membuat pengelompokan baru. Tujuan akhir mereka adalah mau menjadikan Indonesia secara 'negara bancaan saja'.
Para konglo seolah yakin, dengan kekuatan uang, apapun bisa mereka lakukan di Indonesia.
Ketidaksukaan terhadap konglo keturunan Tionghoa mencuat kembali. Sebab sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang mungkin hanya mewakili 5% penduduk Indonesia, tetapi keberadaan mereka menjadi dominan.
Dominasi mereka tidak lagi sebatas di dunia bisnis dan ekonomi. Tapi sudah merambah ke sektor politik dan kekuasaan.
Mereka menjadi kaya raya, di tengah jutaan rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka juga ikut membentuk enclave-enclave baru yang bersifat eksklusif.
Secara bisnis semua konglomerat keturunan Tionghoa tersebut bersaing. Tetapi khusus menghadapi perjuangan BTP menjadi Gubernur DKI Jaya dalam Pilkada serentak kedua tahun 2017, para komglomerat ini bersatu.
Sebagian dari kekayaan mereka, mereka sisihkan untuk mendanai atau mendukung perjuangan BTP menjadi Gubernur ibukota.
Kemarahan terhadap para konglomerat ini semakin menjadi-jadi sebab sudah muncul kecurigaan baru. Bahwa para konglomerat ini memiliki agenda tersembunyi. Yaitu ingin menjadikan BTP sebagai Presiden RI.
Jadi agenda para konglo keturunan Tionghoa ini, bukan lagi demi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Tetapi demi kepentingan kelompok kecil atau minoritas.
Artinya, yang sudah dibaca oleh aktivis seperti Hatta Taliwang, bagi para konglo keturunan Tionghoa, BTP tidak cukup menjadi Gubernur Jakarta. BTP haris jadi RI-1.
Tapi untuk menjadi Presiden RI kelak, kursi Gubernur ibukota NKRI, harus direbut terlebih dulu. Sebab Jakarta merupakan barometer segala-galanya.
Nantinya, dari Jakarta, BTP akan didukung menjadi Wakil Presiden RI kemudian Presiden RI.
Sehingga BTP akan menjadi orang Indonesia pertama yang berdarah Tionghoa sebagai Presiden RI.
Dan kecurigaan yang ada, setelah Gubernur, para konglo akan dukung BTP agar menjadi calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2019, untuk mendampingi incumbent Joko Widodo.
Kuat dugaan untuk 2019, Joko Widodo tak akan berpasangan lagi dengan Jusuf Kalla.
Joko juga sama dengan BTP kemungkinan besar tak akan mengandalkan dukungan partai politik termasuk dari PDIP. Sehingga besar kemungkinan Joko dan BTP berpasangan dalam Pilpres 2019, melalu jalur perorangan atau lazim disebut Jalur Independen.
Tapi yang paling dikhawatirkan oleh pemerhati politik setara Hatta Taliwang, setelah BTP menjadi Wapres, skenario yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1960-an akan diterapkan di Indonesia.
Di mana seorang politisi minoritas dari pemeluk agama Katolik, John Kennedy, menjadi Presiden.
Untuk meraih tiket ke Gedung Putih, di negara yang didominasi kaum Protestan itu, Kennedy menggunakan isu kesetaraan dan pluralisme sebagai jargon dalam kampanya pemilu presiden. Dan berhasil.
Walaupun begitu kelompok mayoritas (Protestan) juga tidak kehilangan akal. Setelah Kennedy berhasil menjadi Presiden, kelompok yang anti terhadapnya melakukan asasinasi. Kennedy ditembak oleh seorang penembak jitu manakala sedang mengadakan perjalanan ke negara bagian Texas.
Dengan terbunuhnya Kennedy, otomatis Wakil Presiden Lyndon B.Johnson naik sebagai Presiden.
Persamaan dan perbedaan skenario politik di Amerika itu bisa terjadi di Indonesia, dalam bentuk lain sekalipun tujuan sama.
Setelah BTP, seorang warga minoritas dari etnis Tionghoa menjadi Wakil Presiden, sebuah kekuatan tak terlilhat, melakukan asasinasi terhadap Presiden, tokoh yang berasal dari kalangan mayoritas.
Akhirnya dengan "terbunuhnya" Presiden Joko Widodo, otomatis Wapres dari kalangan minoritas, BTP, naik ke puncak kekuasaan.
Sebagai sebuah penyegaran, Presiden John Kennedy merupakan warga Amerika yang berasal dari kalangan minoritas. Kennedy sebagai pemeluk Katolik, menjadi sosok representase umat minoritas, sebab di negara Paman Sam itu dari segi kekristenan, mayoritas penduduknya berasal dari kalangan Protestan.
Perseteruan Katolik dan Protestan pada era itu sangat tajam. Bagi pemeluk Katolik, agama Kristen Protestan merupakan agama murtad. Sebab Protestan keluar dari Katolik dengan cara memprotes salah satu ibadah gereja Katolik.
Persaingan secara sektarianpun terjadi dimana-mana.
Peristiwa yang terjadi lebih dari setengah abad lalu di benua Amerika Utara tersebut, menjadi rujukan politik kepresidenan di Indonesia, karena ada unsur kesamaan antara minoritas versus mayoritas.
Peristiwa itu belakangan ini mulai dijadikan bahan bahasan. Terutama setelah munculnya "fenomena Ahok" . Dimana seorang tokoh yang berasal dari kelompok minoritas dalam masyarakat, tiba-tiba berhasil naik sebagai pemimpin.
Sepak terjang BTP di dunia pemerintahan pada umumnya dan secara khusus di bidang politik dan ekonomi, semakin mendapat kajian, setelah hadirnya sejumlah konglomerat sebagai Teman Ahok.
Para konglomerat itu sendiri banyak yang menjadi lebih kaya dari tahun sebelum 1997. Mereka ketiban rezeki seperti durian runtuh. Sebab mereka yang rata-rata punya bank, berhasil mengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dengan BLBI itu mereka bertambah kaya dan tidak mengembalikan apa yang seharusnya mereka berikan kepada NKRI.
Artinya para konglomerat yang menjadi Teman Ahok ini bukanlah pebisnis yang bersih dan jujur.
Jumlah BLBI yang dikemplang para konglo keturunan Tionghoa ini, mencapai ratusan triliun rupiah. Dana-dana itu kini dicurigai diparkir di luar negeri dan hal itu ikut menyebabkan keterpurukan ekonomi Indonesia.
Bahkan sebetulnya jumlah itu bisa mencapai ribuan triliun. Sebab ketika tahun 1997, Bank Indonesia yang dipimpin Gubernur Soedradjad Djiwandono mencairkan BLBI tersebut, nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar, masih di bawah kisaran Rp 10 ribu. Sementara saat ini sudah berada di kisaran Rp 13 ribu-an.
Oleh sebab itu, jika kemarahan terhadap BTP tidak ditangani dan ditanggapi secara tepat, yang dikhawatirkan akan muncul sebuah sentimen baru, berupa rasa anti yang kuat terhadap kelompok masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa atau non pri. Atau rasialisme lama yang berbentuk baru.
Kekhawatiran itu sendiri sudah disuarakan oleh Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo.
Hanya saja reaksi masyarakat terhadap kekhawatiran mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat ini, ada yang melihatnya secara sinis dan parsial saja. Seolah-olah Suryo Prabowo sedang berhalusinasi.
Suryo Probowo seakan-akan menentang BTP sebab sebagai anggota Tim Sukses Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014, JSP dianggap sedang atau hanya melampiaskan kekecewaan Prabowo terhadap BTP.
Nah bola di tangan para pemangku kepentingan atau para sosiolog bagaimana menghadapi dan mengatasi isu yang krusial ini. [***]
Penulis adalah jurnalis senior
KOMENTAR ANDA