SELAMA hampir setengah abad (1968-2008) Indonesia berada dalam kendali investor Jepang. Sejak Indonesia membuka pintu masuk bagi investor asing, Jepang merupakan negara yang paling berhasil memanfaatkan pintu terbuka tersebut secara maksimal.
Jepang tidak hanya berjaya di pasar ekonomi Indonesia, tetapi juga di bidang kebudayaan, melalui makanan. Sebelum fase invasi makanan Jepang berhasil, negeri berjulukan "Matahari Terbit" ini sempat dinamai sebagai "binatang ekonomi" (economic animal).
Penamaan ini terkait dengan prilaku sejumlah pebisnis Jepang di Indonesia. Di tahun 1970-an ketika golf belum menjadi olahraga yang cukup punya peminat di Indonesia, para pegolf Jepang yang notabene pimpinan dari perusahaan Jepang di Indonesia, sering berprilaku kasar. Prilaku ini kemudian dianggap tidak sesuai dengan etika di lapangan golf, sampai muncul istilah kelakukan yang tidak berprikemanusiaan.
Prilaku buruk ini, terhenti atau akhirnya sedikit berubah, ketika pada Januari 1974 di Jakarta meletus kerusuhan anti-Jepang yang dikenal dengan nama Malapateka Januari atau "Malari".
Belakangan ini Jepang mendapatkan saingan baru yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Negara asal Asia yang berpenduduk 1,3 milyar manusia ini memasok berbagai produknya dengan harga yang lebih kompetitif.
Perbandingan harga produk RRT dengan Jepang sangat senjang. Bisa berbanding 1 lawan 10. Harga sebuah produk buatan RRT bisa sepuluh kali lebih murah dibanding buatan Jepang.
Bagi Indonesia masuknya RRT merupakan penyeimbang yang baik bagi Jepang. Kendati produk Jepang, terutama otomotif masih merajalela di jalan-jalaN Indonesia, tetapi secara pelan namun pasti, sejumlah produk konsumtif RRT mulai menggeser dominasi Jepag.
Maka secara diam-diam terjadilah perang dan persaingan pengaruh antara kedua negara dari bagian Asia Utara ini di bumi Nusantara.
Klimaksnya terjadi tahun 2015 baru lalu. Yaitu ketika Indonesia lebih memilih teknologi Tiongkok dalam penggunaan proyek kereta api cepat, Jakarta - Bandung pp.
Dalam proyek bernilai sekitar Rp 75 triliun tersebut, Jepang harus gigit jari. Sebab segala kajian tentang proyek tersebut yang dibuatnya di era pemerintahan Presiden SBY, dinafikan oleh Presiden Joko Widodo.
Alasan bahwa teknologi Jepang lebih baik dan terjamin, dikalahkan dengan biaya atau harga mahal yang harus dibayar Indonesia kepada Jepang.
Dalih bahwa Jepang bisa lebih menjamin keselamatan pengguna jasa transportasi, gugur dengan argumentasi tradisonional. Bahwa sesungguhnya tak ada tekonologi paling sempurna di dunia ini, sepanjang yang membuat dan mengoperasikannya masih manusia.
Kabar burung yang beredar menyebutkan, saking kecewanya pemerintah Jepang atas keputusan Jakarta memilih teknologi Tiongkok atau China, Tokyo berrecana memindahkan sejumlah kegiatan perusahaannya ke luar wilayah Indonesia.
Dari segi bisnis dan jaringan di Indonesia, Jepang tiba-tiba menjadi sulit bersaing dengan RRT. Terutama karena hampir semua mitra pebisnis Jepang di Indonesia merupakan konglomerat keturunan Tionghoa. Para konglomerat ini, ketika dihadapkan pada pilihan bermitra dengan pebisnis Jepang atau RRT, secara spontan memilih yang terakhir.
Citra RRT, baik di tingkat global maupun politik domestik Indonesia memang mengalami perubahan. Dalam arti lebih positif. Ditambah pendekatan yang dilakukan oleh para pemimpin Tiongkok kepada para pengambil keputusan di Indonesia lebih mengena, membuat citra positif itu semakin mengental.
Ingat bagaimana Presiden RRT tak segan-segan mengajak Presiden Megawati Soekarnoputri berdansa di sebuah forum resmi, demi memperlancar negosiasi jual beli gas alam dari kilang Tangguh di Papua Barat.
Sangat kontras dengan Jepang yang sangat santun tetapi kaku. Jepang bisa membungkukan separuh badannya ketika memberi hormat. Artinya Jepang bisa merendah sedemikian rendah. Tetapi prakteknya dalam soal bisnis, tidak demikian.
Di tambah lagi dominasi dunia bisnis di Indonesia berada di tangan para konglomerat keturunan Tionghoa atau "Overseas Chinese".
Sehingga RRT mendapat dua buah simpati sekaligus. Dari sisi birokrat atau pemerintah dan sisi lainnya dari kalangan pengusaha atau konglomerat Indonesia.
Dulu, ketika RRT belum merupakan raksasa ekonomi dunia dan kebetulan negara ini masih dianggap sebagai negara komunis, para "Overseas Chinese" di Indonesia tidak berani 'memihak' RRT.
Sekarang, RRT sudah menjadi raksasa ekonomi dunia bahkan bisa melewati negara adidaya Amerika Serikat.
Ditambah dengan perubahan konstalasi politik dunia, dimana RRT tidak lagi dipandang sebagai 100 prosen negara komunis, para konglomerat Indonesia semakin leluasa berkawan dengan pengusaha atau birokrat RRT.
Terakhir RRT memprakarsai pembentukan sebuah kartel di dunia perbankan. Yaitu memodali pendirian AIB (Asia Infrastructure Bank). Pembentukan bank ini mendapat sambutan positif dan luar biasa dari berbagai belahan dunia.
Sebab AIB mengusung tema akan memberikan bantuan kredit bagi pembanguan di semua negara anggotanya, dengan catatan semua bantuan itu mendapat pengawasan ketat dari Beijing. AIB harus bersih dari korupsi.
Tema ini seakan sebuah magnitude yang menghipnotis semua negara pendirinya termasuk Indonesia. Apalagi dalam struktur pimpinan AIB tersebut Indonesia mendapat jatuh satu anggota Direksi atau Direktur.
AIB juga seakan menghancurkan kredibilitas dan dominasi Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) yang dipimpin Jepang.
AIB dan ADB dihadap-hadapkan. AIB membawa citra Tiongkok sebagai negara anti-korupsi sementara ADB mengusung Jepang sebagai negara anti-korupsi tapi sebatas pada jargon semata. Sebab terbukti, semua negara di Asia yang dibantu oleh ADB atau Jepang, tidak pernah bebas dari korupsi. Indonesia merupakan salah satu nasabah ADB yang kantor pusatnya di Manila, Filipina.
Fakta-fakta di atas pada akhirnya membuat Indonesia semakin melihat RRT sebagai sahabat yang baik. Sahabat baru di dunia ekonomi yang lebih jujur dan mau berbagai kemajuan dan kemakmuran.
Sebaliknya fakta-fakta tersebut semakin menjauhkan jarak dan kedekatan Indonesia terhadap Jepang.
Situasi ini membuat Indonesia seperti sedang berada dalam buaian ataupun belaian RRT. Indonesia sedang mengalami proses aklamitasi. Sebuah proses dimana seseorang seperti terkena bius atau saraf-saraf induknya menjadi kendor dan tak berfungsi penuh.
Indonesia bak seorang pasien sakit gigi. Ketika sudah dibius lokal, sekencang apapun tangan dan jemari dokter gigi mencabut gigi pasien yang rusak, dia tak akan merasakan sakit sama sekali. Bahkan ketika dokter meminta agar gigi lainnya yang mulai terkena virus pembusukan dicabut, sang pasien hanya mengangguk saja. Tidak ada penolakan.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia seperti seorang pasien sakiT gigi di tangan dokter gigi, tak satupun pihak atau negara di dunia ini yang bisa menyakinkan Indonesia bahwa RRT merupakan negara yang patut diwaspadai.
RRT tak ubahnya dengan Jepang atau negara asing lainnya yang ingin mencari keuntungan di Indonesia.
Misi dan agenda RRT di Indonesia tidak berbeda banyak dengan Jepang. Caranya saja yang mungkin agak berbeda. Yang pasti RRT juga tak punya obsesi bagaimana membantu dan membangun Indonesia agar bisa menjadi sebuah negara makmur dan kuat.
Sehingga ketika RRT tiba-tiba membangun pangkalan militernya di sekitar Natuna, tak ada yang curiga.
Bahkan ketika RRT mengklAim sejumlah pulau di gugusan Kepulauan Natuna, Provinsi Riau Kepulauan itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak melihat hal tersebut sebagai sebuah ancaman.
Padahal yang perlu dievaluasi Indonesia, apakah RRT benar-benar sebuah negara sahabat atau justru menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ? [***]
Penulis adalah jurnalis senior
KOMENTAR ANDA