Apa itu tauhid? Bagaimana caranya untuk bertauhid?
Definisi yang beredar bebas di dataran bumi menyatakan tauhid adalah komunikasi, interaksi, atau hubungan antara Tuhan dan Manusia. Nilainya diambil dari seberapa tepat pemahaman dan aplikasinya sesuai dengan apa yang dicitakan Tuhan.
Aku bukanlah ahli kitab yang memiliki setumpuk referensi tentang esensi tauhid. Aku juga bukan alim ulama yang memahami tekstual dan kontekstual dari warisan ketauhidan baginda Muhammad.
Tapi aku adalah manusia yang juga ciptaan Tuhan, Tuhan sendiri yang menganugerahi kehendak individu untukku, jadi siapa yang bisa mencelaku ketika ku katakan tauhid adalah omong kosong?
Manusia yang terlahir dengan kodrat memiliki kehendak individual mungkin menjadi penyebab utama hadirnya sebuah sistem yang dapat menyelamatkan umat manusia mengarungi luasnya alam semesta. Agar aku dan seluruh manusia memiliki takaran yang tepat untuk mengkonstruksikan ketauhidannya. Maka aku adalah manusia yang menggunakan sistem inkodrati ketika mengatakan tauhid adalah omong kosong.
Jika kehendak individual manusia dan sistem selamat-menyelamatkan adalah sebuah kodrat dasar, maka aku akan mengatakan bahwa tauhid adalah kondisi dimana manusia telah menginsyafi kehendak individunya untuk menjalankan sistem selamat dan menyelamatkan.
Selamat-menyelamatkan adalah sebuah sistem yang merupakan definisi dari Islam. Sistem selamat-menyelamatkan adalah Islamisme.
Lalu, apakah manusia yang mengaku Islam dapat menjalankan ajaran Islam tanpa bertauhid?
Manusia yang mengaku memiliki Islam di dalam sendi kehidupannya memang mesti bertauhid. Sebab untuk menjalankan Islamisme, manusia memang mesti tahu cara bertauhid. Tidak ada Islamisme tanpa tauhid dan tanpa tauhid tidak dapat menjadi Islam.
Sebuah hal yang sangat fundamental, ketika diplot sebagai komoditas akan menjadi sebuah malapetaka besar. Itu akan menjadi senjata mematikan, dapat menghentikan denyut nadi hingga rajutan nalar. Gelagat tersebut sering ditunjukkan oleh para penguasa, raja lalim khususnya. Bukan hanya pada Islam, pada ajaran-ajaran lain mengalami nasib serupa. Ajaran suci dijadikan sebagai komoditas yang dikuasai para raja, menafikan susunan jiwa raga mereka tidak ada bedanya dengan rakyat biasa. Bersekongkol dengan pemegang kunci ajaran suci, para raja menghabisi nalar setiap rakyatnya, membuat ia leluasa menjalankan misi-misi perbudakannya.
Para tetua sering melontarkan ucap-ucapan, memberitahu para pewarisnya tentang kondisi Islam di Sumatera Timur pada 1946. Ucapan kuat selalu terlontar dengan nada yang terdengar jelas di setiap kuping bahwa yang mengaku etnis melayu adalah Islam dan begitu sebaliknya. Tak perlu diperkuat, setiap nalar yang berpikir jernih pasti dapat memahami siapa yang waktu itu menjadikan Islam sebagai komoditas kelompoknya.
Mengulang informasi kecil, beberapa orang juga sempat mengatakan itu informasi besar. Para Raja, Sultan, Bangsawan, apapun sebutannya telah bersenggama ria dengan kolonialisme. Kolonialisme dikawinkan dengan monarkisme, maka tentu saja dengan mudah lahir feodalisme. Raja-raja ini mengaku Islam, tapi mengapa bermesraan dengan kolonialisme dan feodalisme yang sangat jelas rona perbedaannya. Islam menjunjung tinggi nilai selamat-menyelamatkan diantara manusia, sedangkan feodalisme dan kolonialisme mengamini nilai selamat untuk kelompok dan kelompok lain menjadi bahan bakar yang akan membuat matang nilai selamatnya.
Tak lupa, beberapa pemangku ajaran Islam juga ikut dimatikan nalarnya. Teriming-imingkan keselamatan membuat fatwa-fatwanya dijadikan sebagai senjata para raja untuk melanggengkan muslihatnya. Tertemukan lagi informasi tambahan tentang siapa pihak yang menjadikan Islam sebagai komoditas kelompok pada saat itu.
Ketika para jelata, rakyat yang tidak selamat di sistem feodalisme melakukan pemberontakan, lantas semena-mena mereka dikatakan sebagai komunis yang benci akan ajaran Islam. Tidak ada yang membenci Islam, yang ada hanya orang-orang yang mengkomoditaskannya. Kalau begitu Islam yang sekedar diakui tersebut bukanlah Islam sesungguhnya, bukan Islam yang bertauhid dan bukan juga Islam yang kodrat ilahi, hanya menjahit pakaian bercorak Islam lalu dipakaikan sebagai penghias badan.
Barang siapa yang dapat menjalankan dengan baik sistem selamat-menyelamatkan adalah orang-orang yang istimewa. Sebab memang sistem selamat-menyelamatkan adalah sistem yang akan membuat manusia menjadi manusia, bukan menjadi seperti seekor kucing jantan yang tega membunuh bayi jantannya demi status quo kejantanan.
Kalau memang tidak sanggup menjalankan sistem selamat-menyelamatkan, jangan mengaku telah menjalankan. Jadilah manusia yang jujur, ikhlas, adil, dan terbuka. Mengakui diri sebagai Islam hanya ketika ia benar-benar mampu dan telah menjalankan Islamisme.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA