post image
KOMENTAR
Selalu ada cerita di balik cerita, kurang lebih itu yang terjadi pada seorang penjual es krim keliling, Legirin. Sejak puluhan tahun ia sudah berkeliling membawa gerobak es demi memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anaknya. Matahari sudah menjadi teman dan gerobak sepeda juga sudah menjadi istri kedua untuknya.

Pada tahun 80-an, lelaki yang sekarang sudah penuh dengan uban dan kulit yang sudah keriput mulai berjualan es krim dengan menggunakan sepeda. Setiap hari, keluarganya tidak hanya menunggu sang ayah pulang, sepeda yang akan membawa rezeki untuk mereka juga selalu ditunggu kedatangannya. Beranak 9, Legirin dan gerobak sepedanya telah berhasil menyekolahkan 8 anak hingga lulus SMA.  Sedangkan anak yang paling terakhir sedang diusahakannya untuk dapat lulus SMA hingga dapat berkuliah di perguruan tinggi.
Seiring waktu berjalan, Legirin dan keluarga mengucapkan selamat tinggal kepada sepeda yang telah lama menemani perjuangan menghidupi keluarga sekaligus mengucapkan selamat datang kepada sepeda motor. Sepeda motor ini menggantikan posisi sepeda sebagai istri keduanya Legirin.

Walaupun berstatus sebagai penjual es krim keliling, Legirin sangat dekat dengan dunia unjuk rasa. Bukan ingin menuntut hak-haknya sebagai warga Medan dipenuhi oleh DPRD kota Medan atau Walikota, ia tekun menunggu para pengunjuk rasa merasa kehausan dan membeli es krimnya.

Kedekatan Legirin dengan dunia unjuk rasa ternyata memang membuahkan hasil yang lebih memuaskan untuknya. Ketika tidak ada unjuk rasa, Legirin hanya berkeliling di sekitar polonia dan hanya mendapatkan penghasilan Rp. 100.000. Sedangkan ketika ada unjuk rasa, baik di kantor DPRD Medan, Walikota Medan, ataupun di Kantor Gubernur SU, Legirin dapat meraup keuntungan hingga Rp. 200.000.

“Setiap ada unjuk rasa, sesama pedagang pasti calling. Jadi kami yang memang sudah sejak lama berjualan ketika ada unjuk rasa pasti merapat. Jauh lebih besar untungnya dan tidak capek kali rasanya kalau berjualan pas ada unjuk rasa. Kalau sehari-hari capek keliling cuma dapat RP. 100.000 maksimal. Tapi kalau jualan pas ada unjuk rasa, dua kali lipat lah untungnya, gak perlu keliling lagi. Kalau tiba-tiba unuj rasanya ricuh, saya ya lari daripada kena lempar batu juga.Tapi lebih enak kalau pedagang yang unjuk rasa, pasti lebih lama dan lebih banyak yang beli daripada mahasiswa,” pernyataan Legirin, penjual es krim keliling.

Menurut penglihatannya, ia lebih senang dan suka melihat pedagang dibandingkan mahasiwa ketika berunjuk rasa. Bukan hanya karena mendapatkan penghasilan lebih besar, tapi juga kaerana seakan-akan ketika para pedagang yang berunjuk rasa terlihat benar-benar memperjuangkan haknya sebagai rakyat. Tidak seperti mahasiswa yang sepenglihatan Legirin hanya berteriak-teriak sebentar lalu pulang.

Walau sudah tua dan renta, ia memiliki prinsip selama masih mampu berdiri dan berkeliling kota Medan, enggan meminta uang dari anak sulungnya yang sudah menjadi pemborong bangunan. Selain itu, ia juga memegang prinsip yang sama dengan apa yang dimiliki Bob Sadino. Ia mengatakan walau hanya berjualan es krim keliling, tidak ada yang pernah memerintahnya. Ia menjadi bos untuk usahanya dan bekerja dengan sesuka hatinya.[rgu]

Bank Sumut Kembalikan Fitrah Pembangunan, Kembangkan Potensi yang Belum Tergali

Sebelumnya

Berhasil Kumpulkan Dana Rp 30 Juta, Pemkot Palembang Sumbang Untuk Beli APD Tenaga Medis

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Ragam