Sektor penegakan hukum di kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali dicederai pasca putusan bebas terdakwa penganiayaan terhadap penduduk Desa Sathean Kecamatan Keicil, Kota Tual, Maluku.
Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW) Akbar Hidayatullah menduga adanya praktik jual beli hukum dalam penanganan kasus penganiayaan terhadap korban atas nama Albertus Horokubun, Arnoldus Horokubun, dan Clemens Renjaan itu.
"Setidaknya di vonis penganiayaan yang mengakibatkan luka berat karena sabetan senjata dan nyaris merenggut nyawa maka seharusnya dikenakan pidana percobaan pembunuhan," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (27/3).
IJW pun mendesak baik pemerintah melalui aparatur penegak hukum untuk segera menangani kasus tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tentu hakim perkara tersebut sangat mungkin untuk dilaporkan ke Komisi Yudisial. Mengingat Indonesia timur adalah wilayah yang karakternya keras, maka seharusnya penegakan hukumnya harus proporsional dan profesional. Pemerintah ataupun negara harus hadir agar tidak terjadi main hakim sendiri di Tual," jelas Akbar.
Diduga, putusan majelis hakim yang terdiri dari Hakim Ketua Hajijah A. Paduwi dengan hakim anggota Rays Hidayat serta Andi Marwan di Pengadilan Negeri Tual mengenyampingkan keterangan saksi dan bukti kuat dalam perkara yang melibatkan Julianus Ikanubun alias Ulis selaku terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim menyebut luka yang diderita korban hanya luka kecil dan tidak mengganggu aktifitas korban sebagai petani.
"Padahal korban telah menderita cacat. Harusnya pelaku penganiayaan tidak lantas bebas murni. Visum et repertum sama sekali tidak dipertimbangkan," ujar Akbar.
Untuk itu, IJW mendesak jaksa penuntut umum bisa melakukan kasasi terhadap putusan tersebut. Karena terhadap putusan bebas, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/2014 yang memutuskan pasal 244 KUHP tidak berkekuatan mengikat.
"Kasus ini menjadi bukti bahwa negara kita bukan lagi negara hukum tapi negara kekuasaan. Kekuasaan yang menyetir hukum. Terbukti penegakan hukum tidak menjadi fokus kerja Presiden Jokowi," jelas Akbar.
Diketahui, kasus itu bermula ketika korban Albertus Horokubun, Arnoldus Horokubun, Clemens Renjaan dan penduduk Desa Sathean lainnya tengah membersihkan kebun milik Antonius Renjaan dekat Lapangan Terbang KS Tubun pada 7 September 2015.
Hari itu juga sekitar pukul 12.40 WIT datang terdakwa Julianus Ikanubun beserta beberapa penduduk Desa Langgur Kecamatan Kei Kecil sekitar 10 orang dengan masing-masing membawa senjata tajam jenis parang. Terdakwa bersama kelompoknya langsung menyerang korban. Akibatnya, para korban menderita luka robek pada bahu sebelah kiri, perut sebelah kanan dan bagian paha akibat terkena sabetan parang yang dilakukan oleh Julianus Ikanubun, Pius Fadirubun, dan pelaku lain.
Terdakwa Julianus sebelumnya juga terbukti sering melakukan tindak pidana seperti pada 2000 melakukan penganiayaan terhadap warga bernama Antonius Renjaan di Desa Sathean dan telah divonis Pengadilan Negeri Tual dengan hukuman penjara enam bulan. Dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2001 yang menolak permohonan kasasi. Namun terdakwa belum pernah menjalani hukuman atau dieksekusi karena menghindar dan melarikan diri ke Papua. Jaksa eksekutor tidak dapat melakukan eksekusi dengan dalih surat putusan Mahkamah Agung hilang.
Selain itu, pada tahun 2014, Julianus juga melakukan penganiayaan terhadap korban atas nama Lazarus Renjaan dan Atanasius Renjaan dan ditahan di Mapolres Maluku Tenggara selama dua pekan, namun kemudian dibebaskan tanpa adanya proses hukum.
"Hakim, jaksa dan polisi seakan tak berdaya melakukan penegakan hukum. Membuktikan bahwa Nawacita yang selama ini digaungkan oleh Jokowi yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara telah gagal dilaksanakan di Tual," demikian Akbar. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA