Sebelum munculnya polemik Freport Indonesia dan Blok Masela, Menko Maritim dan Sumber Daya, Dr. Rizal Ramli sudah menjadi bahan perbincangan publik di awal masuk kabinet. RR melontarkan banyak kritik kepada beberapa kebijakan pemerintah. Seperti, program pembangunan pembangkit listrik 35 megawatt (MW), rencana pembelian pesawat oleh Garuda, dan rencana pembangunan proyek KA cepat Jakarta-Bandung.
"Sikap RR yang blak-blakan ini bikin beberapa petinggi Istana berang, termasuk dan terutama Wapres Jusuf Kalla. Ini bisa jadi karena JK merasa kritik RR tentang pembangkit listrik 35 MW langsung menohok dirinya," pengamat politik senior, Muhammad AS Hikam, Minggu (27/3).
Jelas AS Hikam, sudah barang tentu sikap RR kemudian menciptakan kehebohan, kegaduhan, atau setidaknya kegelisahan di kalangan Istana. Apalagi ketika politisi Senayan mulai menyambut bola panas itu, plus media pun menyiarkannya secara luas.
Konon, Istana sudah berusaha menyikapi dengan cepat. Tak kurang dari Presiden Jokowi sendiri yang angkat telepon kepada RR, mengingatkan agar tidak berpolemik di ruang publik tentang kebijakan pemerintah karena dirinya kini adalah bagian dari kabinet, dan bukan lagi seorang pengamat. Kantor Wapres JK malah bukan hanya menelepon, tetapi juga melontarkan statemen melalui jubirnya dan juga statemen JK sendiri yang intinya menganggap sang Menko tidak paham masalah dan memintanya tutup mulut saja. Namun, RR bergeming, alih-alih menghentikan kritik, apalagi minta maaf, RR malah secara terbuka menantang JK berdiskusi di muka umum mengenai masalah pembangunan pembangkit listrik 35 MW tersebut.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa RR mengambil strategi 'konfrontatif' tersebut? Apakah dia tidak tahu cara berkomunikasi publik sehingga mengabaikan dampak dari sikap tersebut? Ataukah RR memiliki tujuan yang lebih jauh dari sekedar berbeda pendapat secara terbuka? Lalu apa implikasinya terhadap upaya Presiden Jokowi melakukan konsolidasi pemerintahan pasca-reshuffle itu? Menurut AS Hikam, pertanyaan-pertanyaan itu hanya beberapa diantaranya saja, karena tentu masih ada lagi yang bisa dikemukakan.
"Hemat saya, RR bukan tidak tahu bahwa sikapnya akan menciptakan kontroversi. Beliau memilih jalan tak populer ini bukan tanpa perhitungan, termasuk menghitung resiko dirinya akan menjadi target kritik dan bahkan mungkin menjadi 'musuh bersama' (common enemy) di Istana!" ungkap AS Hikam.
AS Hikam mengatakan, para pengamat umunya melihat sisi negatif sikap RR tersebut. AS Hikam sendiri mencoba melihat dari sisi lain. Yakni, RR ingin menunjukkan kepada publik bagaimana posisi dirinya: di satu pihak, RR memang bagian dari pemerintah atau insider, tetapi pada saat yang sama dia juga ingin tetap menjaga kemandirian dan integritas sebagaimana yang sering dikatakannya dalam statemen-statemen sebelum menjadi pejabat Istana.
Menurutnya, RR memilih konsistensi tetap kritis bukan hanya terhadap berbagai kebijakan yang dianggapnya keliru, tetapi juga pihak-pihak yang berada di balik pembuatan kebijakan tersebut, termasuk Wapres JK, Menteri Rini Soemarno, atau yang lain.
Lanjut AS Hikam, kemandirian RR itu juga ditunjukkannya dengan sikap "tak kehilangan apapun" alias nothing to lose dalam menghadapi resiko. Sikap ini ada kaitannya dengan posisi RR sebagai Menko. Jabatan ini hanya bisa efektif jika RR memang memiliki 'leverage' dan atau pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan di kabinet. Jika tidak, maka posisi yang dipegangnya hanyalah sekadar aksesori saja seperti menko-menko sebelumnya.
"Yang jadi taruhan bagi sosok seperti RR adalah, nama dan reputasinya. Jangan sampai ada kesan dirinya sudah dibeli atau dibungkam dengan jabatan! Walhasil sikap RR, hemat saya, tidak hanya sekedar "waton suloyo", cari sensasi, atau apalagi "gagah-gagahan". Sikap RR yang bikin galau banyak orang di Istana itu ada hitung-hitungannya," ujar AS Hikam.
Sambung AS Hikam, lalu apakah RR akan konsisten bertahan dengan sikap yang ternyata sudah mulai memunculkan kehebohan, kegaduhan di Istana dan kontroversi di ruang publik tersbut, ia mengaku tidak tahu. Tetapi sepengetahuan AS Hikam yang mengenal RR secara pribadi, RR bukanlah sosok yang suka mencari sensasi atau punya kebiasaan merusak keseimbangan tim dengan cara mengguncang perahu alias rocking the boat.
"Sebagai sosok yang punya reputasi dan track record kinerja yang diakui secara nasional dan internasional, RR pasti punya perhitungan dalam bersikap. Bisa saja ini adalah semacam shock therapy atau call tinggi bahwa dirinya tidak mau hanya dikooptasi oleh kekuasaan, yang RR tahu persis memang penuh dengan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan," tukas doktor politik lulusan Hawai University ini. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA