Tidak ada yang tidak setuju jika dikatakan buku adalah jendela dunia. Jika begitu, maka tidak akan ada juga yang bisa menolak untuk mengakui bahwa pedagang buku adalah kurir pengantar jendela dunia.
Dua rangkaian kalimat tersebut yang tampaknya menjadikan pusat perdagangan buku di Medan tak akan pernah lekang oleh zaman. Padahal, segala probelamatika kerap menghantui para pedagangnya, mulai dari masalah politik, ekonomi, hingga budaya.
Bagaimana bisa pedagang buku dapat berhadapan dengan masalah politik, ekonomi, dan budaya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui sejarah awal berdirinya pusat perdagangan buku di Medan.
Pusat perdagangan buku di Medan sejatinya tidak berada di dalam toko-toko dan plaza yang mewah. Pusat perdagangan buku di Medan pertama kali berdiri di seputaran jembatan atau populer dengan sebutan Titi Gantung Lapangan Merdeka, Titi yang mengantarkan para pejalan kaki dan pengendara motor untuk menyeberang di atas lintasan kereta api. Sejak saat itu, pusat perdagangan buku tersebut dikenal dengan nama pedagang buku titi gantung. Bahkan sampai sekarang, walau posisinya sudah tidak di tempat semula, orang-orang masih menyebutnya dengan sebutan pedagang buku Titi Gantung.
Pada saat pertama kali berdiri, hanya ada empat pedagang buku yang menjajakan dagangannya di sana. Tepatnya pada tahun 60-an. Jadi, para pedagang buku di sana hari ini sudah berada pada generasi kedua. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Abu, salah seorang pedagang buku lawas yang sudah menggantikan orang tuanya berjualan buku di Titi Gantung.
Untuk aspek politik, masalah timbul karena kota Medan tidak memiliki blue print yang jelas untuk tata kotanya.
Pada 2003 saat Medan dipimpin oleh Walikota Abdillah, para pedagang buku Titi Gantung direlokasi ke sebuah sudut Lapangan Merdeka. Walau berpindah tempat, orang-orang tidak menyebutnya sebagai pedagang buku Lapangan Merdeka, tapi tetap bertahan dengan sebutan pedagang buku Titi Gantung.
Kemudian, pada tahun 2013 para pedagang buku kembali dipusingkan dengan ketidakjelasan blue print tata kelola Kota Medan. Melalui SK dari walikota saat itu, Rahudman, mereka direlokasi ke jalan Pegadaian yang berada tepat di pinggir rel kereta api dan tanah tersebut berstatus sebagai tanah PT KAI.
Relokasi itu disebabkan perubahan penataan Lapangan Merdeka. Relokasi pedagangan buku ke jalan Pegadaian hanya bersifat sementara, sebab mereka akan kembali ke lapangan merdeka saat lokasi baru perdagangan buku di sudut Lapangan Merdeka lainnya selesai digarap Pemerintah Kota Medan.
Dua tahun berjalan, PT KAI menghimbau para pedagang buku di jalan Pegadaian untuk dapat segera pindah, sebab akan dilakukan pembangunan jalur layang kereta api. Nasib para pedagang buku semakin merisaukan, bakal lokasi mereka yang berada di Lapangan Merdeka tak kunjung selesai.
Tak selesai di sutu, ternyata bakal lokasi baru mereka juga terlihat tidak aman dan nyaman. Konstruksi bakal lokasi yang ditempatkan di lantai dua setelah lantai untuk lahan parkir tersebut memiliki pagar yang tidak kokoh dan aman. Para pedagang risau sebab keselamatan diri mereka dan pembeli terancam.
Jadi, masalah politik yang dihadapi para pedagang buku adalah ketidakjelasan blue print tata kota Medan dan koordinasi buruk antar pejabat kota Medan.
Untuk aspek ekonomi, masalah yang dihadapi para pedagang buku Titi Gantung berjalan secara sistematis. Contohnya, Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi ini akan membuat masyarakatnya mengalami kepanikan. Masyarakat butuh uang yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhannya, maka para pedagang buku juga akan menaikkan harga buku untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Para pembeli yang juga merasakan kepanikan akan berpikir beberapa kali untuk membeli buku yang harganya naik. Akan timbul asumsi bahwa mendownload buku di internet jauh lebih murah. Akhirnya para pedagang buku Titi Gantung akan mengalami penurunan omset.
Untuk aspek budaya, para pembeli buku yang didominasi oleh mahasiswa membeli buku bukan karena alasan kebutuhan, namun karena sebuah kewajiban. Mahasiswa Indonesia dan Medan khususnya hanya membeli buku karena diwajibkan oleh para dosen atau hanya sekedar untuk mendapatkan goresan angka semu pada transkip nilainya. Sudah sangat jarang mahasiswa yang membeli buku karena ia sadar bahwa ia butuh ilmu di dalam buku tersebut.
Berbeda dengan satu dekade lalu, kini pedagang buku Titi Gantung kehilangan konsumen yang menganggap buku sebagai kebutuhan hidupnya. Budaya membaca telah terkikis oleh budaya apatis dan kapitalis.
Namun inilah keghebatannya. Dibalik setiap aspek masalah di atas, mereka tetap mampu bertahan menjual bukunya dan mempertahankan sebutan pedagang buku bekas Titi Gantung. Menjelaskan kepada kita bahwa buku adalah salah satu hal yang dapat bertahan dari segala tuntutan dan permasalahan zaman. [hta]
KOMENTAR ANDA