Pernyataan Menko Polhukam Luhut Panjaitan tentang kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu akan dituntaskan pada 2 Mei nanti dikecam keras oleh kalangan pegiat HAM. Mereka menilai pemerintah tidak serius dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Terlebih lagi, korban, keluarga korban, dan para pendamping korban belum pernah diajak pemerintah untuk merumuskan cara penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menuturkan, janji Menko Polhukam yang akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada Mei 2016 mengindikasikan kasus-kasus tersebut akan diselesaikan secara pragmatis.
"Kasus-kasus pelanggaran HAM diduga akan diselesaikan di luar jalur hukum dan hanya ditujukan untuk mengubur aspirasi korban, agar kasus ini diselesaikan secara berkeadilan," ujarnya dalam keterangan persnya yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Hendardi, indikasi itu muncul karena hingga kini langkah-langkah hukum atas kasus tersebut tidak pernah dilakukan. Pertanyaan pemerintah soal siapa subyek hukum yang akan dimintai pertanggungjawaban sehingga dipilih jalur non yudisial, bukanlah isu utama dan pertama.
"Yang utama dari pengungkapan kasus masa lalu adalah ketersediaan dan pengakuan narasi kebenaran peristiwa kemanusiaan itu," ujarnya.
Dia mengtakan, negara sebagai subyek hukum HAM internasional harus meminta maaf dan memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan pemulihan untuk korban. Tanpa pengungkapan kebenaran, upaya pemerintah menegakkan HAM hanya akan sia-sia dan semakin memperpanjang impunitas.
"Sedangkan untuk kasus-kasus yang masih realistis karena terduga pelaku kejahatan itu masih bisa dimintai pertanggungjawaban seperti kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998, semestinya jalur penegakan hukum masih bisa dipilih," usul Hendardi.
Jika Jokowi tidak mampu memerintahkan Jaksa Agung untuk tunduk pada UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk menegakkan proses hukum dan/atau rekonsiliasi akuntabel, sebaiknya Jokowi memenuhi janji dalam Nawa Cita dan Rancangan Pemerintah Jangka Menengah Nasional untuk membentuk Komite Kepresidenan Penuntasan Pelanggaran HAM masa lalu.
Dengan membentuk komite tersebut, proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di luar jalur hukum, seperti yang digagas pemerintah akan dilakukan oleh organ baru yang kredibel dan independen. "Biarkan komite itu yang memberikan arah dan prakarsa penyelesaian," imbuh Hendardi.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar menyatakan, pesimis pemerintah akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada 2 Mei 2016.
"Harus diungkap lebih dulu sebelum penyelesaian dan harus ada penindakan secara adil bagi pelaku dan korban," katanya.
Haris menilai pemerintah seolah mengabaikan penderitaan yang dialami para korban. Penghapusan kasus-kasus pelanggaran HAM berat justru tidak mengindahkan peran hukum sebagai alat keadilan. Seharusnya pemerintah mengikuti ketentuan hukum dengan mematuhi UU Pengadilan HAM.
"Setiap kasus HAM berat harus diselesaikan di pengadilan," imbuhnya.
Dia juga memperingatkan pemerintah agar tidak melakukan rekonsiliasi seenaknya. Pemerintah harus tetap menindak tegas para pelanggar HAM berat. Apalagi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum seharusnya menggunakan instrumen keadilan lewat hukum.
Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan, perkara-perkara pelanggaran HAM berat masa lalu akan selesai pada bulan Mei 2016. "Sekarang sudah mau rampung. Kami harap, 2 Mei 2016 sudah bisa dituntaskan," ujar Luhut di kantornya, Kamis (17/3) lalu.
Terdapat enam perkara HAM berat yang akan dituntaskan, yakni peristiwa 1965, Talangsari, penembak misterius, tragedi Semanggi I dan II, tragedi Wasior-Wamena dan penghilangan aktivis secara paksa. Menurut Luhut, penuntasan perkara tersebut akan dilaksanakan melalui jalur non yudisial atau rekonsiliasi. ***
KOMENTAR ANDA