Pernyataan Sekjen PBB Ban Ki-moon terkait status Sahara
Barat patut disesalkan dan dinilai tidak menghormati proses pembicaraan
damai yang sedang berlangsung untuk menyelesaikan sengketa itu di
forum-forum PBB yang dipimpinnya.
Ketika berkunjung ke kamp Tindouf di Aljazair pekan lalu (Sabtu, 5/3), Ban Ki-moon menggunakan istilah pendudukan (occupation) Maroko di Sahara Barat, dan meminta agar digelar referendum di wilayah yang disengketakan itu.
Pernyataan
diplomat senior Korea Selatan itu disambut protes keras pemerintah dan
rakyat Maroko. Hari Minggu lalu (13/5), tak kurang dari tiga juta rakyat
Maroko dari berbagai partai politik dan organisasi kemasyarakatan
menggelar protes di Rabat.
Pernyataan Ban Ki-moon tersebut
dianggap berlawanan dengan keinginan PBB menyelesaikan sengketa ini
secara damai lewat berbagai forum sejak pembicaraan damai di Manhasset,
New York, pada tahun 2007, hingga sekarang. Juga, menabrak misi Pasukan
Penjaga Perdamaian PBB Minurso di kawasan itu.
Hal ini
disampaikan pengamat hubungan internasional dari FISIP Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, seperti
dikutip dari sahabatmaroko.com.
Teguh Santosa yang juga
Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK), Jakarta, itu mengikuti dari
dekat sengketa wilayah ini. Dia secara khusus mempelajarinya saat
menuntut ilmu di University of Hawaii at Manoa (UHM), Amerika Serikat,
pada tahun 2007. Di tahun 2010 Teguh mengunjungi wilayah yang
disengketakan tersebut dan melihat langsung kehidupan di kawasan Sahara.
Pada
tahun 2011 dan tahun 2012 Teguh juga diundang oleh Komisi IV PBB yang
menangani masalah politik khusus dan dekolonisasi untuk menyampaikan
pendapatnya terhadap sengketa ini di Markas PBB di New York.
Sengketa
Sahara Barat berawal dari keinginan Maroko menyatukan kembali wilayah
yang sempat dibelah oleh dua negara Eropa, Prancis dan Spanyol, dalam
Perjanjian Fez 1912. Di dalam perjanjian itu, Prancis menjadikan wilayah
utara Maroko sebagai kawasan yang mereka lindungi (protectorate) sampai
bulan Mei 1956. Sementara Spanyol menjadikan wilayah selatan Kerajaan
Maroko sebagai koloni atau daerah yang dijajah sampai mereka angkat kaki
pada pertengahan 1975 menyusul krisis ekonomi di dalam negeri.
"Saat
Maroko ingin menyatukan kembali wilayahnya, setting politik global
sudah berubah. Dunia berada di tengah Perang Dingin antara blok Timur
dan blok Barat yang masing-masing ingin mempertahankan dan memperluas
wilayah pengaruh," ujar Teguh yang juga mantan Ketua bidang Luar Negeri
PP Pemuda Muhammadiyah.
Ketika itu, Aljazair yang bergabung
dengan blok Timur berusaha untuk mendapatkan wilayah yang baru
ditinggalkan Spanyol sehingga bisa memiliki pengaruh dan akses ke
Samudera Atlantik. Untuk mencapai keinginan tersebut, Aljazair sejak
1973 secara aktif memberikan dukungan kepada kelompok Polisario yang
mereka tampung di kamp Tindouf di Aljazair. Di Tindouf, Polisario
berkuasa dan mendeklarasikan Negara Demokratik Arab Sahrawi, dan sejak
itu melakukan kampanye untuk mendapatkan pengakuan internasional.
Maroko sempat terlibat dalam konflik bersenjata dengan Polisario dan Aljazair, hingga gencatan yang ditandatangani pada 1991.
"Sejak
gencatan hingga 1994 dilakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan
sengketa, lalu mandek, dan kembali dibuka pada tahun 2007 hingga
sekarang," sambung Teguh.
PBB meminta para pihak yang bersengketa
untuk menyampaikan proposal demi mengakhiri sengketa. Maroko
mengusulkan otonomi khusus sebagai jalan keluar. Sementara Polisario dan
Aljazair di belakangnya meminta referendum.
"Dalam catatan
resminya, PBB menilai bahwa proposal otonomi khusus dari Maroko
merupakan solusi yang serius dan credible untuk menyelesaikan sengketa.
Proposal otonomi khusus ini pun mendapatkan dukungan dari semua negara
anggota tetap Dewan Keamanan PBB," kata Teguh lagi.
Dia
mengatakan, bahwa kritik yang disampaikannya ini ditujukan untuk Ban
Ki-moon secara pribadi, bukan kepada PBB sebagai sebuah lembaga
internasional yang memiliki peran agung menjaga perdamaian dunia.
Pernyataan Ban Ki-moon secara pribadi memperlihatkan ketidakmampuan
mengikuti proses perdamaian, atau bisa jadi merupakan pembangkangan
serius terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai Sekjen PBB.
Dengan
demikian, sambung Teguh, Ban Ki-moon bukan saja menjadi masalah bagi
Maroko dan proses perdamaian di Sahara Barat. Pernyataannya blunder
seperti itu bisa diulangi di tempat-tempat lain yang sedang mengalami
konflik atau rawan konflik. Pada gilirannya, Ban Ki-moon bisa
membahayakan perdamaian dunia.
"Bayangkan juga bila Ban Ki-moon
datang ke Indonesia atau ke negara tertentu di kawasan Pasifik, dan lalu
memberikan pernyataan blunder terkait status Papua, misalnya. Bila ini
terjadi, dan melihat apa yang terjadi di Afrika Utara, hal ini mungkin
terjadi, Indonesia akan menghadapi persoalan besar terkait keutuhan
teritori NKRI. Pernyataan Ban Ki-moon selagi dia masih menduduki kursi
Sekjen PBB tentulah memiliki arti yang sangat serius," demikian Teguh. [zul]
KOMENTAR ANDA