Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil mempertanyakan standart operasional prosedur (SOP) yang digunakan Densus 88 dalam menangani terorisme. Hal ini menyusul tewasnya Siyono saat penangkapan yang dilakukan tim Densus hari Rabu pekan lalu (9/3).
Nasir mengatakan, kasus tewasnya Siyono mengingatkannya pada kejadian penyiksaan yang dialami lima orang korban salah tangkap di Poso pada 2013 lalu.
"Densus kerap kali melakukan tindakan penyiksaan sejak tahap penangkapan, padahal pelaku yang ditangkap belum tentu menjadi tersangka dan bahkan sering terjadi salah tangkap," ungkap Nasir.
Nasir menilai perlakuan yang terindikasi penyiksaan itu kerap dilakukan densus pada saat penangkapan.
"Tindakan penangkapan yang dilakukan dengan menutup mata terduga pelaku teroris dan memukul bagian tubuh dan kepala dengan senjata merupakan tindakan penyiksaan dan sulit diproses secara hukum karena korban tidak tahu dan tidak melihat langsung siapa yang menyiksa mereka," ulas Nasir.
Terkait hal tersebut, Nasir mengatakan pihaknya tak segan-segan untuk mempertegas ketentuan penangkapan dalam revisi UU terorisme yang akan dibahas dalam waktu dekat ini.
"Sebagai anggota pansus perubahan UU tentang pemberantasan terorisme, saya akan mempertegas pengaturan prosedur penangkapan dan bahkan bisa mengurangi kewenangan Densus dalam penangkapan jika pendekatan penyiksaan yang dilakukan Densus dalam melakukan penangkapan terduga teroris selama ini," ujar Nasir.
Selanjutnya, Nasir mengatakan, ketentuan kewenangan penangkapan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 akan menjadi fokus perhatiannya dalam melakukan perubahan undang-undang tersebut.
"Kami akan meminta klarifikasi Kapolri dan mempelajari SOP penangkapan Densus, jika ditemukan ada celah Densus melakukan tindakan sewenang-wenang bahkan penyiksaan, maka ketentuan penangkapan mutlak dibatasi dan harus dipertegas dalam rancangan undang-undang," ungkap Nasir.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA