Guldenisme adalah sebuah paham yang mendoktrin para penganutnya untuk menghasilkan pundi-pundi keuntungan dan kekuasaan. Lalu keuntungan dan kekuasaan yang berhasil diperoleh akan dialokasikan untuk menjalankan aktivitas hedon (bermewah-mewahan), tak mengapa jika orang-orang yang enggan menginsyafi guldenisme sedang meradang di dalam kesusahan dan kesengsaraan.
Guldenisme pertama kali diperkenalkan oleh para kolonial yang mengaku-ngaku sebagai kelompok yang akan membantu sebuah kelompok masyarakat untuk mencapai peradaban yang lebih maju. Dalam kenyataannya, kelompok masyarakat yang dibuat lebih maju peradabannya adalah kelompok masyarakat yang sudah memiliki tatanan hidup.
Dahulu kala, hingga abad ke-18 di bumi nusantara hanya kerajaan dan bangsawan yang memiliki tatanan hidup, menegaskan bahwa mereka memiliki
peradaban yang lebih maju dibandingkan kelompok masyarakat biasa (bukan bangsawan).
Untuk bumi Nusantara tepatnya hampir di ujung barat, Sumatera Timur, VOC yang akhirnya secara terorganisir mampu menjembatani berjalannya dakwah penyebaran paham guldenisme. Setiap paham akan terseber ke suatu tempat jika memiliki kelompok masyarakat yang senang berkompromi atasnya. Akhirnya melalui perjanjian Acte Van Verband, kelompok masyarakat yang sebelum datangnya guldenisme ini telah memiliki peradaban yang lebih maju di antara kelompok masyarakat lainnya, yaitu para bangsawan, menyepakati penyebaran paham guldenisme.
Setiap perjanjian memiliki satu prasyarat wajib, sebuah konsesi. Pada perjanjian Acte Van Verband ini, yang dijadikan sebagai konsesi adalah bagi hasil industri tembakau. Potensi perkebunan tembakau di Sumatera Timur ini sejalan dengan tulang punggung terkumpulnya pundi-pundi keuntungan dan kekuasaan guldenisme. Sebab segala keuntungan dan kekuasaan pada masa itu sangat dipengaruhi oleh keistimewaan tembakau.
Jika para bangsawan yang sedang diceritakan ini memiliki kemampuan meramalkan masa depan, meramalkan apa yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946, mungkin mereka akan langsung mengusir Jacobus Nienhuys pada pandangan pertama di tahun 1862. Jika pada pandangan pertama sudah mendepak Jacobus Nenhuys, Acte Van Verban tidak akan pernah disepakati dan perkebunan Deli Matschapaij juga tidak akan pernah berdiri.
Namun apa daya, tak seperti bangsa maya yang mampu meramalkan masa depan, kelompok bangsawan melalui para rajanya mengamini terjadinya ke semua hal yang menjadi cikal bakal meletusnya revolusi sosial Sumatera Timur 1946.
Sebelum masa kelam 1946 datang, manfaat nyata dari guldenisme yang dirasakan oleh para bangsawan ini benar-benar hadir. Segenap keuntungan dan kekuasaan di Sumatera Timur berada di genggaman. Melancong berpiknik melihat kepongahan dunia barat yang katanya sudah modern saat itu adalah hal mudah untuk dilakukan. Sesekali mereka mengunjungi industri yang mengkemas tembakau sedemikian rupa, tembakau yang didatangkan dari tanah mereka, dari hasil perjanjian Acte Van Verband.
Tidak hanya melancong, bangunan-bangunan mewah turut didirikan oleh Deli Matschapaij sebagai hadiah untuk raja atas kompromitas berjalannya bisnis tembakau. Bahkan, bangunan yang sekarang kita sebut sebagai kantor Gubernur Sumatera Utara adalah peninggalan Deli Matschapaij, yaitu sebagai balai riset tembakau kala itu.
Perlu juga menjadi catatan bahwa guldenisme ini tetap harus menonjolkan diri sebagai agen intelektualitas untuk memenuhi syaratnya sebagai kelompok yang mendukung majunya peradaban. Maka Deli Day pada masa itu disimbolisasi sebagai hari yang memiliki pemaknaan munculnya bibit-bibit intelektualitas. Untuk mempertegasnya, diciptakan acara megah pada sebuah ruangan di Institut Hindia-Belanda. Para pembawa guldenisme ke Nusantara, petinggi VOC, dan sang raja duduk rapi menghadiri acara seakan dunia hanya berjalan di ruangan itu.
Untuk memperkuat guldenisme, hubungan politik mesti dipererat. Banyak cara yang dilakukan, namun yang menyolok adalah kunjungan-kunjungan spesial di antara keduanya secara bergantian. Dan ada satu lagi, kali ini sesuatu yang sangat kodrati, dilakukan pernikahan-pernikahan para putra-putri mahkota pertanda terjadinya pernikahan politik.
Bagaimana dengan kelompok masyarakat yang tidak tergolong sebagai bangsawan?
Bukan hanya tidak berkompromi terhadap guldenisme, masyarakat yang tidak tergolong sebagai bangsawan ini tidak masuk nominasi rekan bisnis bagi VOC. Hanya para bangsawan yang masuk nominasi rekan bisnis VOC, sebab para bangsawan yang memiliki kekuasaan atas tanah tumbuhnya potensi tembakau.
Sesuai ajaran Guldenisme, pola hidup hedon harus berjalan. Pola hidup hedon tidak akan pernah terwujud jika setiap orang di suatu tempat turut merasakan nikmatnya hasil keuntungan tembakau. Hanya segelintir orang yang boleh merasakan hasil keuntungan tembakau yaitu para bangsawan dan VOC itu sendiri.
Kembali ke kelompok masyarakat non bangsawan. Perkebunan butuh kuli kasar, sebuah penghinaan jika golongan bangsawan yang mengerjakan pekerjaan kasar. Maka yang menjadi kuli kasar adalah para masyarakat non bangsawan.
Ingat, untuk menjalankan keutuhan guldenisme, kenikmatan hanya dibagi untuk segelintir orang. Masyarakat yang bukan bangsawan jauh lebih banyak jumlahnya, maka merekalah yang tidak mendapatkan kenikmatan hasil tembakau. Padahal, mereka yang bekerja keras mengeluarkan lautan keringat dan gunung daki demi maksimalnya hasil perkebunan tembakau.
Kondisi tersebut kemudian juga dinamakan sebagai feodalisme.
Lalu, dalam jumlah yang lebih besar di keadaan tertindas, mengapa masyarakat non bangsawan tidak bangkit melawan?
Selain ada benteng raksasa bersenjata mematikan, VOC, yang memastikan keamanan Sumatera Timur, intelektualitas hanya dapat diupayakan oleh para bangsawan. Belum ada modal untuk bangkit melawan bagi masyarakat non bangsawan.
Tapi dunia tidak akan lupa memberikan keadilan pada setiap penghuninya, gugatan undang-undang yang melegalkan perlakuan semena-mena terhdap kuli turut menggugat VOC. Dikatakan adil karena yang membuat gugatan tersebut justru sebangsa VOC, ialah Van Den Brand.
Selain dari gugatan tersebut, masyarakat non bangsawan akhirnya dapat menembus pendidikan untuk mencapai intelektualitas. Modal-modal pemberontakan terus terkumpulkan hingga terjadilah revolusi sosial Sumatera Timur 1946 yang dipelopori tokoh-tokoh dari aparat pro republik, sosialis, nasionalis, komunis, hingga ulama. Kesemuanya anti terhadap feodalisme.
Kini telah jauh berlalu tragedi revolusi sosial tersebut. Guldenisme sudah punah dari tanah Sumatera Timur yang sekarang menjadi Sumatera Utara.
Bagaimana jika hari ini atau suatu hari mucul kelompok yang ingin membangkitkan dan memprovokasi kembali revolusi sosial tersebut?
Jika ada yang tidak puas dengan hasil revolusi tersebut dan melakukan provokasi, ada kemungkinan bahwa guldenisme yang kemudian menghasilkan kolonialisme dan feodalisme ingin dibangkitkan kembali.
Cukupi teriknya matahari 3 Maret 1946!
Percayalah, tidak ada lagi yang ingin tragedi tersebut kembali terjadi. Walau beralasankan untuk mengejar sumber uang yang nilainya bisa menghapus sebagian besar hutang Indonesia.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA