BANYAK misteri di sekitar Sisingamangaraja, teristimewa Sisingamangaraja ke duabelas. Tentang kewafatan dan jasad yang dikubur di Tarutung untuk kemudian dipindahkan ke Soposurung, Balige. Tentang agamanya, berhubung fakta-fakta yang multi-interpretatif antara lain terhadap bendera, pedang, stempel berpernyataan Hijrah Nabi 1304 (?) dan dituliskan dalam aksara Arab Melayu. Kita biarkan semua misteri-mesteri itu terbuka sendiri kelak, baik secara kebetulan maupun oleh penelitian pakar yang lebih jujur dengan penyajian data lebih kuat dan akurat.
Salah satu mitos penting lainnya ialah tentang Piso Gaja Dompak. Benda ini adalah pisau simbol penting kerajaan dengan gagang berbentuk kepala gajah. Sekiranya hari ini akan dilangsungkan penentuan siapa di antara keturunan yang mustahak untuk diamanahkan jabatan kerajaan Sisingamangaraja ke tiga belas, maka menurut mitos lama, metodenya adalah mencabut Piso Gaja Dompak dari sarungnya. Tentu diyakini amat magis, dan kekuatannya begitu tinggi hingga mampu menjadi alat seleksi yang diterima oleh seluruh orang Batak untuk menjadi satu-satunya cara melakukan suksesi.
Piso Gaja Dompak itu katanya dibawa Belanda ke negerinya (Leiden), disimpan di sebuah musem dan mereka tak akan bersedia menyerahkannya sebelum Indonesia memiliki sebuah museum penyimpanan yang standar untuk pengamanan dan pengawetan sebuah dan banyak benda-benda berharga warisan leluhur Batak termasuk piso Gaja Dompak itu.
Pertanyaan saya ialah, siapa yang mengatakan bahwa sukses dinasti Sisingamangaraja harus melalui ujian mencabut piso Gaja Dompak dari Sarungnya? Seberapa percaya kita terhadap “mitos” ini sedangkan kita semua tahu bahwa Belanda dan para missionaris dari RMG (Rheinische Missions-Gesellschaft) menginginkan Batak struktur dan nilai diporak-porandakan untuk dibentuk dengan nilai kekristenan yang ramah kepada penjajah Belanda?
Saya harus curiga. Saya anggap ini mitos yang wajib ditolak. Dalam kisah yang diceritakan oleh beberapa literatur, setelah Sisingamangaraja ke duabelas dinyatakan terbunuh, mayatnya “dipamerkan” di Balige untuk memastikan kepada seluruh halayak bahwa raja dan pemimpin sakti mereka sudah meninggal. Sisa pasukan Sisingamangaraja ke duabelas terus dikejar. Keluarganya ditahan dan dibuang ke berbagai tempat. Semua itu lazim dilakukan oleh Belanda untuk memutus jaringan dan mengikis habis potensi munculnya perlawanan baru oleh keturunan yang dianggap mampu dan berharisma.
Saya menduga RMG dan Belanda sengaja menciptakan mitos prasyarat suksesi dengan mencabut piso Gaja Dompak dari sarungnya, sedangkan mereka membawa piso Gaja Dompak itu ke Belanda. Dalam catatan banyak penulis perlawanan terhadap Belanda tidak serta-merta berhenti pasca dinyatakannya Sisingamangaraja ke dua belas wafat. Tetapi wacana untuk meneruskan kerajaan itu tidak muncul. Berarti tujuan mereka tercapat dengan sangat efektif.
Pertanyaan kedua, jika hukum selalu memberi ganjaran kepada pencuri, maka apa hukuman yang harus kita berikan kepada Belanda dengan membawa piso Gaja Dompak yang menjadi simbol penting kerajaan ke negerinya? Batak yang besar harus marah, dan mengambil piso Gaja Dompak dari tangan penjajah Belanda sekaligus menghukum negeri itu setimpal.
Tetapi dalam ketak-berdayaan seperti sekarang ini sangat tidak mungkin untuk melakukan semua yang saya bayangkan, yakni mengambil piso Gaja Dompak ke Leiden, menghukum Belanda karena telah mencuri simbol kerajaan Batak, dan mengukuhkan seseorang di antara keturunan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela menjadi Sisingamangaraja ke tiga belas.
Dalam pikiran saya kerajaan Sisingamangaraja harus dilanjutkan, meski bukan untuk sesuatu yang akan memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana keberadaan Kerajaan-kerajaan lain di Nusantara seperti kerajaan Deli yang tak berhenti melakukan regenerasi sesuai kebutuhannya.
Memang, di tengah ketiadaan sumberdaya (terutama ekonomi), sebuah kerajaan hanyalah akan menjadi simbol-simbol tak bermakna yang menunggu giliran sirna ditelan zaman. Saya sadar betul tentang itu, di samping kondisi lokal Tapanuli yang kini sudah jauh berubah, baik karena peta demografis keagamaan dengan segenap konsekuensinya, maupun karena modernisasi yang begitu cepat meninggalkan akar-akar budayanya, yang kesemuanya itu pasti menjadi faktor resistensi.
Namun pertanyaan tetap tak terjawab, mengapa dinasi Sisingamangaraja berhenti begitu saja pada generasi ke dua belas. Dinasti ini perlu dikonsolidasi. Dalam kepentingan yang jelas untuk wisata, pemerintah eks Tapanuli terlihat begitu bersemangat menggali nilai-nilai genuine. Tetapi mereka secara tidak adil memilah mana yang perlu dilupakan begitu saja.
Tentulah program yang belakangan dideklarasikan oleh Negara dengan berbagai obsesi bermagnitkan Danau Toba tak seyogyanya menganggap penghapusan permanen Dinasti Sisingamangaraja sebagai agenda prasyarat. Tidak elok begitu.
Perbandingan
Kita ketahui, beberapa tahun terakhir muncul di Indonesia gerakan yang merujuk kembali sejarah dan kekuatan kerajaan-kerajaan nusantara. Mereka berkonsolidasi, mematut diri, dan berdiplomasi kian kemari hingga Negara pun berperhatian khusus kepada mereka. Jogjakarta malah mendapat perlakuan istimewa beroleh hak-hak khusus menyelenggarakan pemerintahan di luar koridor undang-undang yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia.
Jika semua kerajaan-kerajaan nusantara yang berkonsolidasi itu menginginkan perlakuan dari Negara sejajajar dengan perlakuan terhadap Jogjakarta, maka apa gerangan pemikiran di kalangan pewaris istana Sisingamangaraja? Adalah hal normal mereka menginginkan kuasa, atau klausul hukum yang memberi pengakuan lebih kuat terhadap keberadaan mereka selain pengakuan sejarah belaka. Tentu tidak perlu muncul pemikiran liar: jangan-jangan secara diam-diam mereka juga berharap ada arah perkembangan baru Negara menjadi Negara-negara bagian berbasis kerajaan-kerajaan nusantara itu, tanpa harus merujuk kepada politik pecah-belah van Mook. ***
KOMENTAR ANDA