Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok rupanya punya alasan sendiri kenapa memilih jalur independen di Pilgub DKI. Dia bilang, ongkos politik untuk maju lewat partai kelewat mahal. Paling tidak, ia harus bayar mahar hingga Rp 300 miliar untuk bisa didukung satu partai. Dengan tarif segitu, Ahok bilang tidak sanggup. "Partai tidak minta mahar pun, saya tidak ada uang," kata Ahok di Balaikota, Jakarta, kemarin.
Ahok bilang tarif Rp100-200 miliar sudah hal yang lumrah. Ongkos politik seorang pasangan calon yang ingin maju lewat partai memang tidak murah. Soalnya parpol biasanya mencari dukungan di sektor kelurahan sampai dengan provinsi. Untuk satu kelurahan, kata Ahok, kira-kira perlu suntikan dana sekitar Rp10 juta per bulan.
Biaya tersebut dipakai untuk penyewaan mobil, konsumsi dan biaya operasional lainnya. Itu baru satu kelurahan. Jika ada 267 kelurahan dan dihitung dalam 10 bulan, maka dana yang dibutuhkan sudah miliaran. Belum lagi jika partai tersebut berkoalisi.
Angka tersebut bisa berkali-kali lipat jumlahnya. "Saya hitung-hitung, nggak sanggup saya. Harta saya yang pas-pasan bisa habis dijual (buat maju bayar partai)," ujarnya.
Ahok bilang, ongkos semahal apa pun sebenarnya bukan perkara pelik baginya. Ia bisa saja mendapatkan uang sebanyak itu dengan mudah. Caranya bisa saja dengan meminta uang kepada para pengusaha. Tapi, Ahok enggan menggunakan cara ini. Ia tak ingin punya utang budi kepada siapapun. "Daripada saya disumbang Rp 200 miliar tapi nggak berhasil, lebih baik mereka menyumbang untuk orang Jakarta. Nyumbang bus atau apalah, saya nggak jadi gubernur pun, orang Jakarta dapat menikmati," tuturnya.
Sampai saat ini, baru Nasdem yang secara tegas telah mendeklarasikan dukungan kepada Ahok tanpa syarat. Ia mengaku bersedia menerima dukungan itu karena tidak perlu membiayai operasional dan kampanye. "Kalau partai yang mendukung seperti Nasdem, ya saya terima. Sejauh ini oke, geraknya ke posko, saya juga sudah dikasih tau nggak keluar duit," ucapnya.
Omongan Ahok ini rupanya bikin PDIP kepanasan. Politikus PDIP Andreas Pereira bilang, cerita Ahok soal mahar politik itu mengada-ngada, dan imajinatif. "Jangan bikin imajinasilah, seolah Pak Ahok dizalimi PDIP," kata Andreas, kemarin.
Dia bilang, PDIP menghormati pilihan Ahok yang maju lewat jalur independen. Tapi, katanya, Ahok jangan mendesak partainya untuk membuat keputusan. Apalagi mengatur-ngatur partai.
"Kami (PDIP) punya mekanisme proses penjaringan, penjaringan beberapa tahapan baru keputusan itu sampai bulan Juli," sebut Andreas.
Andreas menilai, desakan Ahok itu sebagai tindakan yang mendekonstruksi sistem yang sudah berjalan di partainya. Jangan sampai, kata dia, Ahok hanya berkeinginan untuk jadi gubernur tanpa melihat esensi demokrasi. "Kita bukan bilang deparpolisasi, tapi ada kecenderungan gejala parpol tidak penting yang penting saya (Ahok) jadi gubernur," ungkapnya.
Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, keputusan Ahok maju melalui independen hanya strategi menjelang Pilgub DKI 2017. Dia bilang, secara kasat mata memang terlihat seperti deparpolisasi. Tapi dilihat dari kacamata politik, ini merupakan strategi Ahok untuk menarik ulur minat partai politik menggandeng dirinya.
Sehingga, kata Hendri, semakin mendekati deadline, semakin tinggi daya tawar Ahok. Terlebih partai politik tidak memiliki calon yang mampu melawannya.
"Jadi semakin Ahok ribut independen, Ahok semakin populer. Partai politik pasti melakukan penawaran. Akhirnya, Ahok bisa mengatur partai," kata Hendri, kemarin.
Agar bisa menghindar dari tekanan Ahok, lanjut dia, parpol terutama PDIP, harus mencari tokoh yang bisa menandingi Ahok. Tokoh yang dekat dengan rakyat dan partai politik. Contohnya Gubernur Jateng Ganjar Pranowo atau Walikota Surabaya Trirismaharintti. Dia yakin, jika PDIP bisa memajukan sosok-sosok seperti itu, maka Pilgub DKI akan lain ceritanya.
"Apabila Ahok menang independen, tidak menutup kemungkinan daerah lain mengikutinya. Jakarta ini barometer politik nasional," pungkasnya.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA