Pihak Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara kembali menemukan praktik pengutipan dana dari siswa pada sekolah negeri yang dilakukan oleh pihak sekolah. Kutipan sebesar Rp 900 ribu per siswa tersebut ditemukan di SMA Negeri 8 Medan yang terletak di Jalan Sampali, Medan, saat tim dari Ombudsman Sumatera Utara mendatangi sekolah tersebut untuk mengklarifikasi langsung informasi yang masuk kepada mereka, Kamis (10/3).
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara, Abyadi Siregar mengatakan, dari pertemuan tersebut pihak sekolah mengakui adanya kutipan Rp 900 ribu yang dikhususkan bagi siswa kela XII untuk bimbingan belajar (bimbel) untuk persiapan ujian nasional. Selain itu, mereka juga mendapatkan keterangan mengenai kutipan lain seperti uang pentas seni (Pensi) sebesar Rp60 ribu per orang, uang penyelenggaraan 17 Agustus 2015 sebesar Rp6000 per orang, serta uang komite senilai Rp100 ribu per orang yang dibebankan kepada 1.066 jumlah siswa sekolah tersebut.
"Kita menerima laporan tentang adanya pungutan-pungutan ini. Apakah ini benar, dan payung hukum apa yang digunakan untuk melakukan kutipan ini," kata Abyadi Siregar didampingi Asisten Ombudsman Ricky Hutahaean, Dedi Irsan, dan Edward Silaban. Sementara dari pihak sekolah yang menerima Ombudsman yaitu Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum Herbin Manurung dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Rencus.
Abyadi menjelaskan dari laporan yang diterima Ombudsman, sebanyak 327 siswa kelas XII yang akan mengikuti UN harus membayar Rp900 ribu per orang untuk mengikuti Bimbel dari Bimbel Ganesha Operation (GO) yang dilaksanakan sejak Agustus 2015 hingga Maret tahun ini. Bimbel tersebut juga digelar pada jam belajar siswa.
Menurut Abyadi, pihak sekolah diduga telah melanggar PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Permendikbud No 80 Tahun 2015 tentang petunjuk teknis penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan Dana Bos untuk SMA.
Dalam PP 17 pasal 181 tegas mengatakan, Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang, menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan; melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik; dan/atau melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam Permendikbud No 80 tahun 2015, dijelaskan bahwa dana BOS merupakan program pemerintah untuk membantu memenuhi biaya operasional sekolah dan pembiayaan lainnya untuk menunjang proses pembelajaran.
"Jadi sudah jelas diatur tentang pelarangan pungutan di sekolah, kenapa masih ada lagi kutipan-kutipan seperti ini," ungkapnya.
Abyadi mengatakan, tak sedikit sekolah di Medan melakukan pungutan kepada siswanya yang sangat memberatkan siswa dan orangtua siswa. Kondisi ini juga sangat mencoreng wajah dunia pendidikan Sumatera Utara, khususnya Kota Medan sebagai ibukota provinsi.
Oleh karena itu, pihaknya akan menyampaikan permasalahan-permasalahan tersebut kepada Walikota Medan. Ia berharap segera ada solusi untuk mengembalikan dunia pendidikan Sumut.[rgu]
KOMENTAR ANDA