post image
KOMENTAR
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada Jumat (4/3) di pelataran Masjid Raya Al Mahsun Medan, beberapa kalangan warga kota Medan, masyarakat Suku Melayu khususnya, menyaksikan hari peringatan 70 tahun revolusi sosial Sumatera Timur. Revolusi sosial yang terjadi pada tahun 1946 tersebut merupakan peringatan atas pembantaian etnis Melayu atau para bangsawan Melayu yang ada di pantai timur Sumatera oleh kelompok masyarakat republikan yang anti terhadap sistem feodalisme.

Plt. Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry Nuradi mengapresiasi atas terselenggaranya kegiatan yang di inisiasi oleh para tokoh budayawan Melayu dan para cendikiawan muda. Dengan penuh rasa emosional dan rasa kebanggaan terhadap masyarakat melayu Tengku Eri menyampaikan syukurnya atas banyaknya masyarakat melayu yang menempati posisi penting dalam lembaga-lembaga pemerintahan.

"Apa lagi kita tidak terlalu banyak, dari segi etnis, tapi kita bersyukur banyak orang melayu menjadi pimpinan-pimpinan di setiap instansi-instansi yang ada," demikian Tengku Eri dalam pidatonya pada acara peringatan tersebut.

Menurut Sejarawan Universitas Sumatera Utara, Wara Sinuhaji, yang menjadi korban dalam pembantaian tersebut bukan hanya masyarakat Suku Melayu, tapi seluruh kaum bangsawan feodal yang ada di Sumatera Timur, yang dibagi menjadi 3  kepemimpinan etnis dalam pemerintahan swapraja yakni  Raja-raja Melayu (Sultan Deli), Raja Simalungun, dan Raja Karo.

"Jadi sebenarnya kalau kita berbicara tentang revolusi sosial ini, korbannya bukan cuma masyarakat melayu. Nah, korbannya adalah seluruh kaum bangsawan feodal yang ada di Sumatera Timur. Kalaupun ingin diperingati, seharusnya elemen-elemen yang menjadi korban dalam revolusi sosial tersebut turut dihadirkan," ujar Wara kepada MedanBagus.Com.

Revolusi sosial yang terjadi pada 3 Maret 1946 tersebut adalah gerakan yang dilakukan oleh para kaum republikan yang memandang bahwa tidak diperlukannya lagi sistem feodalisme pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya indikasi dari para kaum feodal yang telah “bermain mata” dengan Belanda yang sekali lagi ingin mengembalikan sistem kolonialisme yang pada prinsipnya sama dengan kaum feodal yang gemar menginjakkan kaki diatas kepala rakyat jelata. Hal ini yang menimbulkan respon para kaum republikan yang pada akhirnya menciptakan gejolak revolusioner yang mengakibatkan pertumpahan darah, yang hingga saat ini dikenal dengan istilah Revolusi Sosial Sumatera Timur.

Pengungkapan sejarah dalam revolusi sosial tersebut dipandang masih terlalu subjektif. Salah satunya dengan mengabaikan swapraja lain seperti Raja Simalungun dan Raja Karo. Dalam pengungkapan sejarah yang disampaikan dalam acara tersebut juga belum mengungkapkan secara terang-terangan mengapa pembantaian tersebut bisa sampai terjadi. Tidak adakah negoisasi terlebih dahulu antara para feodal swapraja dengan kaum republikan sebelum terjadinya pembantaian pada masa itu?

Tidakkah disadari oleh kedua belah pihak yang saling bertikai, bahwa Belanda tengah mengambil keuntungan dari rentannya kondisi kemerdekaan Republik Indonesia pada masa itu? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu diungkapkan untuk menguak fakta sejarah yang tidak menyesatkan.

Semua kronologi sejarah yang terang sesuai dengan kaidah ilmu sejarah belum diungkapkan dalam acara peringatan revolusi sosial Sumatera Timur tersebut. Jika ingin mengungkap fakta sejarah hendaknya setiap elemen yang berkaitan benar-benar mengungkapkan fakta sejarah secara utuh dan objektif.

Sebenarnya yang menjadi persoalan mendasar adalah apa yang ingin disampaikan oleh para masyarakat (sejarawan dan cendikiawan) Melayu dengan menyelenggarakan acara peringatan tersebut kepada masyarakat Indonesia, terkhusus warga Sumatera Utara dan khususnya lagi warga kota medan?

Tengku Erry sendiri mengharapkan wacana ini menjadi wacana nasional yang kemudian dapat menjadi gebrakan yang besar. Lantas gebrakan apa yang ingin dicapai dengan membuka sejarah yang masih belum secara objektif dijelaskan kepada masyarakat dalam acara tersebut?

Dalam hal ini yang sangat disayangkan adalah sikap Plt. Gubernur sendiri yang terkesan memihak dan sangat subjektif. Sebagai seorang pemimpin yang seharusnya menjadi representatif masyarakat Sumatera Utara seharusnya Tengku Erry bisa lebih mengambil sikap yang objektif.

Dengan terselenggaranya peringatan tersebut dan sikap pemimpin Sumatera Utara yang terkesan sangat subjektif tersebut diharapkan masyarakat Indonesia, khususnya Sumatera Utara tidak mengambil sikap yang reaksioner. Hingga menimbulkan gejolak sosial seperti kecemburuan, perpecahan, dan lain sebagainya yang berdampak buruk bagi kerukunan Masyarakat Sumatera Utara.

Maka perlu ditinjau kembali secara lebih matang dan objektif terhadap segala aspek yang berkaitan, dengan pengungkapan sejarah dan efek dari terungkapnya sejarah kelam kemerdekaan Republik Indonesia ini.[rgu]

FOSAD Nilai Sejumlah Buku Kurikulum Sastra Tak pantas Dibaca Siswa Sekolah

Sebelumnya

Cagar Budaya Berupa Bangunan Jadi Andalan Pariwisata Kota Medan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Budaya