Meski Presiden Jokowi menjanjikan perlindungan bagi masyarakat adat di Indonesia, namun kerangka hukum perlindungan tersebut tidak kunjung terealisasi.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menagih janji Presiden Jokowi soal UU Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Apalagi saat bertemu Presiden pada 21 Juli 2015, janji tersebut juga menjadi fokus pembicaraan.
Direktur Advokasi dan Kebijakan AMAN, Erasmus Cahyadi menyebutkan, saat ini masyarakat adat di Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah tentang hak hidup mereka.
"Berbagai kasus tanah ulayat masih membelit mereka. Karena negara mengklaim 80 persen tanah di Indonesia adalah milik negara," ujarnya di Jakarta.
Menurut Erasmus, Presiden Jokowi sebelumnya telah berkomitmen agar negara hadir di tengah-tengah masyarakat adat, namun komitmen itu baru sebatas janji. Belum disahkannya RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat serta belum terbitnya Keppres Satgas Masyarakat Adat menjadi bukti pengabaian janji Presiden kepada masyarakat adat.
Kekecewaan masyarakat adat, lanjut Erasmus, makin besar lantaran sidang paripurna ke 17 DPR pada 2015 lalu tidak mengakomodir RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat (PPHMA) dalam daftar prioritas Prolegnas 2016. Meski demikian pihaknya akan terus memperjuangkan hak masyarakat adat yang masih terabaikan.
"AMAN terus berupaya mengusulkan Satgas Masyarakat adat mengingat sesuai dengan janji Presiden RIyang akan membuat komisi independen agar ada yang benar-benar mengurus masyarakat adat," tandasnya.
Direktur Sayogjo Institute, Eko Cahyono menerangkan, belum adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat berimplikasi pada ketidakjelasan status masyarakat adat berdasarkan hukum.
"Sudah banyak instrumen hukum yang didorong untuk diperbaharui berdasarkan putusan MK Nomor 35 tahun 2012 tetapi mengapa masih ada saja halangan-halangan politik yang tidak mau melaksanakan itu," katanya.
Dia melihat, permasalahan ada pada penyederhanaan masalah keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya atas wilayah adat serta Sumber Daya Hutan menjadi masalah administrasi dan legalitas semata. Padahal, hubungan masyarakat adat dengan lingkungannya merupakan hubungan yang kompleks meliputi hubungan teologis, sosiologis maupun spiritual.
Eko menekankan, memisahkan masyarakat adat dengan tanah dan sumber dayanya lalu diganti sebagai masalah administrasi merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius.
"Masih kuatnya kebijakan pembangunan yang mengorientasikan pertumbuhan ekonomi jelas mengabaikan kebijakan yang memberikan prioritas pada masyarakat hukum adat," imbuhnya.
Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, mengatakan selama ini pihaknya telah menerima banyak pengaduan atas berbagai kasus yang terkait konflik agraria dan konflik pertanahan. Di antara kasus konflik agraria yang diterima, sebagian di antaranya merupakan konflik antara masyarakat adat dengan negara dan sektor kehutanan.
"Kami melihat kasus-kasus yang ada bukanlah kasus yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kasus-kasus yang menyebar di seluruh Indonesia dan tidak bisa diselesaikan satu per satu. Karena itu untuk menyelesaikannya dibutuhkan respon dari pemerintah secara menyeluruh," katanya.
Dari fakta tersebut Komnas HAM menyepakati bahwa Inkuri Nasional merupakan metode yang paling cocok untuk mengangkat persoalan ini dan mendorong atau merekomendasikan solusi-solusi yang dapat menyelesaikan persoalan ini secara lebih menyeluruh.
Sandra mengungkapkan bahwa masalah ini sangat penting untuk segera ditindaklanjuti. pihaknya pun memberikan beberapa rekomendasi kepada masing-masing pihak terkait.
"Rekomendasi ditujukan untuk banyak pihak, pertama Presiden untuk segera melakukan upaya-upaya untuk menindaklanjuti masalah ini, dan segera membentuk Satgas. Kedua DPR yang
secepatnya memperepat pengesahan dan hak-hak hukum adat. Dan juga Kementerian terkait untuk lebih detail melihat lebih dalam apa yang terjadi pada masayarakat adat di Indonesia," tandasnya.***
KOMENTAR ANDA