Sumatera Timur, Maret 1946, antara kaum feodalisme, kaum sosialisme dan kolonialisme. Komposisi yang aneh untuk dapat hidup bersama dalam sebuah kedamaian. Betapa, feodalisme tidak dapat akur dengan sosialisme, sosialisme tidak dapat akur dengan kolonialisme. Dan, lawan dari lawan adalah kawan, diaminkan oleh feodalisme dan kolonialisme.
Siapa feodalisme?
Siapa sosialisme?
Siapa kolonialisme?
Feodalisme identik dengan budaya bermewah-mewahan sang basawan, oligarki dan otoriter mutlak.
Sosialisme identik dengan pemikiran-pemikaran yang tergabung dalam fork front, pejuang kemerdekaan, semangat para kaum republikan.
Kolonialisme identik dengan Belanda yang berupaya mengembalikan sistem kolonialisme di Indonesia. Dengan dalih bangsa Indonesia belum cukup dewasa dan berbudaya untuk berdiri sebagai sebuah negara merdeka.
Di bawah pengakuan pemerintah pusat, kaum-kaum bangsawan, para raja etnis terlegitimasi sebagai pemerintahan swapraja memimpin rakyat-rakyat Sumatera Timur, Agustus 1945. (Dikutip dari wawancara dengan sejarahwan USU, Wara Sinuhaji, Jumat (4/3) di pelataran Mesjid Raya).
Sungguh, sebenar-benarnya, bukan hanya raja melayu yang mempin Sumatera Timur, itu dibagi menjadi 3 pemimpinan etnis dalam pemerintahan swapraja yakni raja-raja melayu (sultan deli), raja simalungun, dan raja karo.
Feodalisme yang akur dengan kolonialisme, ditenggarai karena ada kesamaan hasrat dan sistem-gaya hidup. Gemar menciptakan batasan antara kaum terpandang dengan jelata. Tentu saja, mudah diprediksi bahwa kaum terpandang akan bertindak semaunya terhadap kaum jelata, memakai sistem feodalisme yang anti sistem republik.
Republik mesti tumbuh kembang dengan akar-akar yang kuat. Tidak akan mulus jalannya republik jika ada hawa-hawa feodalisme. Kaum republikan lalu menggabungkan diri, berencana melenyapkan sisa-sisa feodalisme. Melenyapkan sisa-sisa feodalisme sama dengan melenyapkan sistem pemerintahan swapraja, yang dipimpin kaum-kaum bangsawan.
Dunia tak pernah berdusta, tak akan menjadi damai dua hal atau lebih yang tidak ada potensi untuk akur. Pecahlah, tragedilah, revolusi sosial 1946 di Sumatera timur tepat pada 3 maret. Si merah dan si biru saling berhadapan dalam gejolak konflik sosial menuju konflik fisik.
Siapa yang salah?
Siapa yang benar?
Ini adalah kisah kasih namun berdarah. Disebut kisah kasih sebab dilakoni oleh sesaudara, setanah dan seras bahkan ada yang segama. Bagaikan pertarungan kakak dan adik, pertarungan bukan untuk mencari siapa yang lebih hebat. Hasil pertarungan antara kakak dan adik sesungguhnya penuh dengan kasih, mencari yang terbaik untuk seisi rumah tangga.
Berdarah menjadi harga mati, tak bisa dihindarkan karena mental yang tertanam dalam di dasar kepala hanya dapat berubah seiring lepasnya kepala dari badan. Mental feodalisme, entah mengapa bisa tertanam di dalam kepala kaum bangsawan, mungkin karena konstannya irama feodalisme dalam kehidupan sehari-hari.
Keberangan menyegerakan pertumpahan darah-darah muncul, kepala feodalisme terlepas dari badannya semakin menjadi-jadi sejak datangnya sebuah kecurigaan. Kaum republikan curiga mental dan perilaku feodalisme kaum bangsawan telah kawin dengan mental dan perilaku kolonialisme Belanda saat agresi militer.
Kini, republik telah berdiri gagah dengan panji-panji kebesarannya berkibar bebas di seluruh permukaan tanah dan laut Indonesia. Tak dapat dipungkiri, ada kemungkinan berdiri gagahnya republik kini adalah buah keberhasilan revolusi sosial Sumatera Timur 1946. Besar juga kemungkinannya republik tidak akan pernah gagah berdiri jika kaum-kaum bangsawan dibiarkan bekerja sama dengan Belanda.
Kemungkinan lain, telah dilakukan jalan diplomasi untuk menentukan hasil pertarungan antara si biru dan si merah ini. Kemudian terindikasi bahwa pecahnya revolusi sosial tersebut disebabkan gagalnya jalan diplomasi. Peperangan berdarah memiliki etika untuk dihidupkan jika itu menyangkut kepentingan umum. Peperangan berdarah sesuai etika tidak akan pernah terjadi jika jalan diplomasi berhasil ditempuh.
Sesungguhnya pihak yang dapat disalahkan di hari ini adalah pihak yang coba menimbulkan kembali gesekan antar masyarakat per tingkatan sosial. Pihak yang salah adalah pihak yang menciptakan provokasi untuk menimbulkan kembali kebencian antara anak-anak eks Sumatera Timur.
Kalau masih membandel berupaya mencari siapa pihak yang salah di 3 Maret 1946, jangan salahkan jika kebenaran sejarah akan menikam nafsu dan hasrat liar nakalnya sendiri. Etnis melayu, anak-anak raja melayu baru saja memperingati kegiatan melawan lupa revolusi sosial Sumatera Timur 1946 pada malam 4 maret 2016 di pelataran Mesjid Raya. Republik memiliki janji, anti feodalisme dan kolonialisme.
Bagaimana kalau ternyata raja-raja etnis yang memimpin pemerintahan swapraja Sumatera Timur selama 8 bulan sejak Agustus 1945-Maret 1946 terbukti memiliki mental dan perilaku feodalisme?
Bagaimana kalau ternyata raja-raja etnis yang memimpin pemerintahan swapraja Sumatera Timur selama 8 bulan sejak Agustus 1945-Maret 1946 terbukti memang bekerja sama dengan kolonialisme Belanda untuk keberhasilan agresi militer 1946?
Boleh melawan lupa, tapi jangan sampai malah menciptakan kelupaan pada hal yang lebih mendasar dan penting untuk keutuhan dan kemajuan bangsa dan negara, Republik Indonesia.
#Nikmatnyaseranganfajar
KOMENTAR ANDA