Peristiwa Revolusi SOsial yang terjadi di Sumatera Utara 70 tahun yang lampau tidak hanya menimpa suku melayu saja. Akan tetapi peristiwa yang bila diamati dari sudut pandang berbeda ini, hanya menimpa kaum feodal dan kolabolator kolonial di Sumatera Timur, kala itu. Hal ini disampaikan sejarawan Universitas Sumatera Utara, Wara Sinuhaji usai menghadiri peringatan 70 Tahun Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang digelar di halaman Mesji Raya Al Mahsoon Medan, Jumat (4/2) malam.
"Jadi sebenarnya kalau kita berbicara tentang revolusi sosial ini, korbannya bukan cuma masyarakat melayu. Nah, korbannya adalah seluruh kaum bangsawan feodal yang ada di Sumatera Timur. Kalaupun ingin diperingati, seharusnya elemen-elemen yang menjadi korban dalam revolusi sosial tersebut turut dihadirkan," ujar Wara kepada MedanBagus.Com.
Wara juga menilai bahwa sebenarnya revolusi sosial tersebut merupakan gerakan yang ingin menyelamatkan Indonesia agar tidak kembali jatuh ke tangan Belanda. Kaum-kaum republikan yang revolusioner tersebut melakukan revolusi sosial atas dasar anti feodalisme. Sebab dicurigai bahwa kaum-kaum bangsawan sebagai pemerintahan swapraja feodal telah menjadi antek-antek Belanda.
"Sejak adanya kecurigaan bahwa pemerintahan swapraja bekerja sama dengan kolonial Belanda, semua bangsawan-bangsawan ini diculik, ditangkap dan dibantai oleh persatuan kaum-kaum republikan yang revolusioner. Setelah kejadian 3 Maret 1946 tersebut, eksistensi pemerintahan swapraja berakhir dan dapat dinyatakan gerakan revolusi sosial 1946 berhasil," tegasnya.
Namun begitu, Wara tetap memberikan apresiasi acara yang juga dihadiri Plt Gubernur SUmut T. Erry.
"Saya pikir ini sesuatu yang wajar kalau masyarakat melayu memperingati tragedi 3 Maret 1946. Saya pikir hal yang luar biasa, tidak pernah sebelumnya kejadian ini diperingati," demikian Wara. [hta]
KOMENTAR ANDA