Gerakan Revolusi Mental tidak akan berhasil dilakukan sepanjang wawasan nusantara tidak menjadi bagian penting konsepsinya.
"Hari ini pembicaraan mengenai wawasan nusantara menjadi makin relevan ketika kita dihadapkan pada problematika dan tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Problematika itu, jika kita identifikasi berasal dari dalam dan dari luar eksternal," kata Wakil Ketua DPD RI, Farouk Muhammad, dalam Focus-Group Discussion yang diadakan Lembaga Pertahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI), kemarin di Jakarta.
Dalam keterangan yang diterima redaksi, mantan Gubernur PTIK itu menjelaskan, secara internal, reformasi 1998 membawa angin perubahan berupa kebebasan (liberasi) dan demokratisasi. Tetapi, pada saat yang sama muncul ekses negatif berupa gejala primordialisme, sektarian, kebebasan yang kebablasan yang melemahkan ikatan sebagai bangsa.
Farouk menambahkan, secara eksternal dunia berkembang begitu pesat akibat globalisasi, yang menembus batas negara, pergaulan dan hubungan antarbangsa dan antarwarga tidak lagi dibatasi negara akibat perkembangan teknologi informasi. Akibatnya adalah invasi budaya, nilai, identitas dominan yang mungkin berbeda atau bertentangan dengan identitas karakter bangsa tidak dapat dihindari lagi.
Masalah-masalah itu, lanjutnya, menyebabkan pergeseran nilai-nilai fundamental masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Generasi bangsa mengalami fase transisi yang cukup rumit. Ketika nilai atau norma bangsa belum berhasil dicerna, reformasi dan globalisasi yang menawarkan nilai atau norma baru yang lebih menarik dan "trendy" sudah hadir.
"Namun mereka belum sempat menghayati sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru. Inilah yang disebut sebagai kondisi ketidakpastian atau anomie. Mereka bisa menjadi sangat liberal dan kosmopolit di satu sisi, dan bisa terperosok pada radikalisme di sisi yang lain," terang Farouk.
Di lain pihak, negara mengalami "goncangan" karena kemampuan ekonomi menurun akibat pembangunan terlalu fokus pada politik. Pembangunan ekonomi sangat dipengaruhi kepentingan politik karena tidak ada arah pembangunan nasional semacam GBHN.
Padahal pembangunan bangsa seharusnya komprehensif, bukan hanya aspek politik atau ekonomi saja, tapi juga mencakup pembangunan sosial budaya dan karakter bangsa. Akibat pembangunan yang tidak komprehensif ini, muncullah berbagai permasalahan sosial yang dilakukan remaja, seperti narkoba, seks bebas, LGBT, hingga permasalahan korupsi, intoleransi, kekerasan etnik dan terorisme.
Terkait pandangan Farouk di atas, perlu diketahui juga bahwa RUU Wawasan Nusantara menjadi prioritas program legislasi nasional (proleganas) tahun 2016 yang digagas oleh DPD RI. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA