MAHALNYA keadaan merdeka bagi beberapa bangsa menjadi kian nyata seiiring berkembangnya peradaban Eropa zaman pertengahan. Perkembangan peradaban Eropa di zaman pertengahan ditandai dengan terejewantahkannya ilmu pengetahuan ke dalam ilmu terapan, ilmu terapan tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal anti merdeka bagi beberapa bangsa lainnya.
Ilmu-ilmu terapan terus melanggam alami, berkembang biak menghasilkan berbagai produk. Bagaikan kepompong yang memiliki kepastian untuk berkembang menjadi seekor kupu-kupu.
Ilmu-ilmu terapan tersebut berhasil memprovokasi bangsa eropa, mendorong bangsa eropa untuk mengamini gaya hidup mewah. Alhasil, pergerakan memonopoli komoditas menjadi persaingan di antara bangsa eropa.
Dataran Eropa, di bawah gerak langkah kaki pasukan imperial ternyata tidak cukup sebagai pemenuh hasrat monopoli. Dan akhirnya, timbul niat menggebu untuk menyusuri lautan luas, berharap peruntungan menemukan dataran lain untuk dimonopoli kekayaan alamnya.
Bangsa-bangsa yang tergolong dalam peradaban terbelakang, belum mengenal khasanah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi ilmu terapan, akhirnya berhasil ditapaki pasukan imperial eropa. Jadilah bangsa-bangsa tersebut sebagai sapi perah misi monopoli pasukan imperial.
Indonesia, sebelumnya bernama Nusantara terbentang dari ujung Sumatera hingga ujung Irian Jaya terpilih sebagai sapi perah pedagang Belanda. Walau berstatus sebagai pedagang konon katanya setiap perjalanan para pencari dataran, menyusuri samudera yang membatasi dataran Eropa tersebut memiliki hidden agenda tertentu, tak sekedar ingin berdagang.
Terbukti beberapa saat setelah melihat sumber daya alam Nusantara yang sangat kaya, berdatangan bangsa Belanda lainnya secara masif dan massal. Sejak saat itu, belanda mulai melegalkan sebuah sistem baru di Nusantara, sistem penjajahan di bawah kontrol VOC.
Selama sistem penjajahan berdiri kokoh di Nusantara, baik ketika didalangi oleh Belanda maupun Jepang masih menyisakan rasa pedih yang sangat sulit untuk dilupakan hingga sekarang. Rasa pedih yang tersisa hingga kini bukan karena tersiksanya fisik, tapi karena tersiksanya sebuah bagian di dalam dimensi ide yaitu mental. Sebab lupa itu berada di dalam koridor ide dan ada kata tidak lupa untuk kepedihan sisa-sisa masa penjajahan.
Fisik adalah hal yang paling mudah untuk dipulihkan dibandingkan sakitnya mental atau hal-hal lain pada dimensi ide. Begitupun kenangan sisa-sisa penjajahan, tak ada lagi satupun dari masyarakat Indonesia yang terlihat tanda-tanda adanya ingatan untuk tersiksanya fisik.
Menjadi persoalan lebih besar untuk Indonesia, kerusakan mental tidak ikut hilang dengan kerusakan fisik yang telah ditanggung. Mental yang rusak, masih bersimpu bersemayam di beberapa anak-anak bangsa pasca kemerdekaan bahkan hingga pasca reformasi.
Mental yang rusak tersebut merupakan konsekuensi yang sangat berat untuk ditanggung dan diobati. Sampai sekarang, mental menindas ketika berkuasa dan mental diam tertindas ketika tidak memiliki kekuasaan adalah puncak masalah. Dua mental tersebut sesungguhnya telah melanggar kodrat serta fitrah manusia, tidak datang begitu saja. Kerusakan mental tadi mudah menjangkiti anak-anak bangsa karena belum sempurna datangnya pengetahuan tentang esensi sebuah peradaban, yang kemudian seharusnya diturunkan menjadi konsep berbangsa dan bernegara.
Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu daerah yang tingkat kerusakan mentalnya terbilang tinggi. Sebuah indikator yang dapat diambil untuk menguatkan vonis tersebut adalah kondisi Lapangan Merdeka, sebuah lapangan yang menjadi ikon kemerdekaan kota Medan.
Mari sama-sama kita nilai kondisi Lapangan Merdeka saat ini, sebuah lapangan yang seharusnya menyimbolkan sebuah kemerdekaan sudah kembali terjajah. Akhirnya kerusakan mental yang terus melekat di setiap anak-anak bangsa sejak legalnya sistem penjajahan, menghasilkan akibat yang nyata di masa ini.
Lapangan Merdeka tidak lagi merdeka, pemilik kapital sedikit demi sedikit membangun kerajaan-kerajaannya di tepi Lapangan Merdeka. Sangat sedikit jumlah pemuda yang memerdekakan aktualisasi karyanya di setiap sudut Lapangan Merdeka.
Kebanyakan pengunjung rutin Lapangan Merdeka adalah orang-orang yang punya banyak duit, menghabiskan waktu dan uangnya berhedonisme ria di tempat-tempat kapitalisme. Seakan menutup mata menghalangi penglihatan ke arah pedagang-pedagang kecil. Agaknya mereka-mereka itu mengalami stagnasi berpikir, menjumpai kebuntuan untuk mengembangkan karya-karya yang produktif.
Bukankah makna dari merdeka adalah memiliki kemampuan setinggi mungkin untuk menghasilkan karya-karya, bermanfaat luas dan membantu peradaban?
Lalu kenapa Lapangan Merdeka yang sedari awal ditujukan sebagai pentas aktualisasi kemerdekaan justru dihuni oleh orang-orang yang tidak paham dan tidak pro akan makna kemerdekaan?
Salah siapa?
Seluruh anak-anak bangsa, pemuda adalah sumber kesalahan yang paling mungkin, tak mampu benar-benar mengaktualisasikan kemerdekaannya di Lapangan Merdeka. Tak ada lagi yang memperhatikan kondisi Lapangan Merdeka kecuali sedikit, itupun di dominasi kaum tua. Kondisi ini menciptakan celah untuk berdiri kokohnya bangunan-bangunan mewah yang mempraktikkan sistem kapitalisme, sistem anti merdeka.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA