PEKAN ini, alam dan masyarakat sama-sama memiliki kelatahan. Seperti alam, ketika angin mulai lembab dan langit mengeluarkan gemuruh, awan akan segera latah untuk mengeluarkan butira-butiran hujan yang membasahi bumi.
Begitupun manusia, ketika pemerintah telah mengeluarkan sebuah pernyataan tentang pelarangan LGBT masuk ke kampus, masyarakat segera ikut-ikutan latah mencurahkan gumaman dan perhatiannya pada problematika LGBT.
Ini adalah hal yang berbahaya, kelatahan awan yang tak kunjung selesai akan membuat ia lupa jika bumi juga butuh matahari, tak bisa hujan terus melatahi awan tanpa henti. Begitu juga dengan masyarakat yang telah latah untuk terus menguras perhatiannya pada isu LGBT, mereka bisa lupa bahwa ada masalah lain di tengah-tengah mereka yang bahkan lebih tinggi pengaruhnya untuk kesejahteraan.
Setelah hampir setahun masyarakat dapat melepaskan perhatiannya dari pusaran perdebatan tentang LGBT, beberapa pekan terakhir hingga sekarang masyarakat kembali memusatkan perhatiannya ke situ. Atau jangan-jangan bukan kembali memusatkan, tapi dikembalikan untuk memusatkan perhatiannya pada problematika isu LGBT?
Masyarakat yang mengambil keputusan untuk menjadikan LGBT sebagai pola hidupnya adalah masyarakat yang tidak beragama. Mengapa demikian?
Hal itu disebabkan tidak ada satu pun agama yang tujuan utamanya kontra produktif terhadap kesuksesan peradaban. Letak kesalahan yang paling berat pada pola hidup LGBT adalah kontra produktif terhadap kesuksesan peradaban, hal itu sama sekali tidak dapat ditolerir. Peradaban butuh reproduksi manusia untuk mencapai sebuah kesuksesan, sedangkan LGBT tidak dapat melakukan reproduksi.
Lalu bagaimana jika masyarakat yang mendukung LGBT menyanggah dan mengatakan bayi tabung dapat menjadi solusi atas reproduksi mereka?
Benar bahwa bayi tabung dapat menjadi instrumen yang mampu mereproduksi manusia. Tapi apakah semua negara dapat menghasilkan bayi tabung dengan sempurna? Proses menghasilkan bayi tabung adalah proses yang mahal dan sensitif. Tidak semua negara dan tidak setiap lapisan masyarakat mampu untuk memenuhinya.
Hasil dari bayi tabung juga tidak selalu berhasil dengan sempurna, sesuatu yang tidak terproses dengan alami pasti akan menemui sebuah ketidaksempurnaan. Selain dapat menyebabkan masalah pada reproduksi manusia, masyarakat yang mengusung pola hidup LGBT akan melakukan senggama dengan cara-cara yang berbahaya.
Ketika timbul keberbahayaan pada alat vital pelaku LGBT, maka akan menyebabkan masalah pada kesehatannya dan kemudian tidak dapat mengaktivitaskan diri dengan baik pada tatanan masyarakatnya. Akhirnya, alternatif apapun yang digunakan LGBT dalam menyanggah hujatan kepadanya tetap akan memberikan nilai yang kontra produktif dalam mencapai kesuksesan peradaban manusia.
Sampai di sini kita sudah jelas melihat dan mengetahui permasalahan yang akan disebabkan pola hidup LGBT tanpa menggunakan agama atau meme (gambar-tulisan) sebagai tameng untuk menghujatnya.
Bukan mau merendahkan agama atau kreativitas yang digunakan untuk melawan LGBT, tapi jujur saja jika kita tanyai satu-persatu masyarakat yang mengusung pola hidup LGBT, mereka tidak akan terganggu dengan perlawanan masyarakat lain yang menggunakan agama atau meme-meme tadi.
Betapa tidak, seperti yang telah dituliskan di atas, mereka adalah kelompok masyarakat yang tidak beragama.
Kalaupun ada agama di suatu negara yang melegalkannya, maka harus dipertanyakan dengan keras dan dalam tentang tujuan utama dari agama tersebut. Agama adalah pedoman hidup manusia, manusia memiliki kebutuhan untuk mencapai peradaban, maka agama yang tidak pro terhadap kesuksesan peradaban tidak pantas dikatakan sebagai agama dan dipeluk oleh manusia.
Kita ambil perspektif lain. Jika ada kelompok masyarakat LGBT yang mengaku beragama, agama yang pro terhadap kesuksesan peradaban, maka dia hanya sekedar mengaku-ngaku saja. Ia tidak pernah melihat dan mengaji ajarannya secara keseluruhan, bahkan sebagian pun diragukan pernah dikajinya.
Seharusnya, dengan adanya Undang-Undang yang dikeluarkan pemerintah untuk menolak LGBT dari tatanan masyarakat Indonesia sudah menjadi penolakan yang sangat tegas.
Ditambah dengan masyarakat yang harus memiliki keyakinan/agama sebagai syarat untuk dapat hidup menetap di Indonesia, masing-masing masyarakat dapat melakukan penolakan kuat yang mandiri untuk menangkal pengaruh buruk dari LGBT.
Dibalik keburukan yang memang sudah buruk dari sebelum ada keberadaannya, ada sesuatu yang aneh dengan kembali maraknya perdebatan tentang isu LGBT. Pada pertengahan tahun lalu, 2015, Indonesia sudah menyelesaikan perdebatan tentang problematika LGBT. Hasilnya pun cukup memuaskan dengan munculnya penolakan, baik resmi ataupun tidak, dari pemerintah dan setiap lapisan masyarakat.
Lalu kenapa pemerintah, melalui menristek beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan tentang penolakan LGBT di setiap kampus di Indonesia?
Ada dua dugaan yang akan muncul. Pertama, menristek sudah tidak tahu lagi pekerjaan mandiri apa yang dapat dikerjakannya. Kedua, isu LGBT yang dimunculkan kembali ditujukan untuk menutupi isu-isu lain yang lebih penting dan bersubstansi pada kesejahteraan masyarakat.
Dibalik segalak polemik dan kekacauan yang sedang dialami Indonesia, dugaan kedua jauh lebih kuat dibandingkan dugaan pertama. Namun apapun alasan asli menristek yang sebenarnya, setiap orang tua yang menguliahkan anaknya di berbagai kampus sudah membekali dengan baik para anak untuk hidup sebagai manusia yang normal dan benar. Tidak seperti negara-negara barat yang memiliki kelompok masyarakat LGBT tidak sedikit, Indonesia sangat sedikit. Maka hampir seluruh mayarakat yang ada untuk menolak LGBT, akan menjadikan LGBT sebagai wabah penyakit sosial dan biologi.
Tanpa pemerintah melalui Menristek atau bahkan MUI sekalipun mengeluarkan pernyataan penolakan keras terhadap LGBT, masyarakat sudah anti dan menolak keras pola hidup LGBT yang kontra produktif terhadap kesuksesan peradaban. Dengan penggiringan ini, kita bagai di-LGBT-kan pemerintah.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA