Satuan Pelajar dan Mahasiswa (Sapma) OKP Ikatan Pemuda Karya (IPK) dan Pemuda Pancasila (PP) sepakat untuk menjadi kaum-kaum pemikir dan penggagas anti kekerasan di internal organisasi kepemudaan yang mereka geluti. Hal ini disampaikan oleh Ketua Sapma IPK Sumut Budi Darma dan Ketua Sapma PP dalam dialog "Peran pemuda dalam menghadapi globalisasi dengan semangat nasionalisme yang sukses dan bermartabat tanpa kekerasan" yang digagas oleh Maruli Center.
Budi Darma mengatakan, sebagai kaum intelektual para anggota Sapma senantiasa mendorong agar seluruh kader OKP yang ada di Indonesia khususnya Sumatera Utara untuk mengedepankan hal-hal yang bersifat membangun dan meninggalkan sifat-sifat kekerasan.
"Kami tentu tidak menginginkan agar stigma preman bisa dilepaskan dari seluruh anggota OKP," katanya, Sabtu (13/2).
Namun menurut Budi, persoalan ini tidak mudah mengingat berbagai pola yang mereka terapkan tidak langsung dengan mudah dapat diterima oleh kader-kader OKP diluar Sapma. Dukungan dari pemerintah menurutnya sangat dibutuhkan untuk membantu mereka dalam melakukan pembinaan terhadap para anggota OKP yang ada.
"Pemerintah punya dinas yang tugasnya mengurusi pemuda, harusnya itu benar-benar diberdayakan untuk memberi pembinaan kepada pemuda. Kami siap memberikan sumbangsih pemikiran demi pembinaan tersebut," ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Sapma PP, Iqbal Hanafi Hasibuan. Ia meyakinkan seluruh kalangan di Sumatera Utara bahwa sifat kekerasan merupakan hal yang senantiasa mereka tolak dalam mengembangkan organisasi. Bahkan bentrokan yang terjadi antara IPK dan PP beberapa waktu lalu sangat mereka kutuk karena justru hanya menambah antipati dari masyarakat terhadap keberadaan OKP.
"Saya yakin Sapma PP dan Sapma IPK sangat tidak menginginkan bentrok seperti itu, karena hanya memunculkan persoalan baru," sebutnya.
Iqbal berkeyakinan, pembinaan yang baik dari kalangan pemerintah dengan melibatkan pucuk pimpinan OKP menjadi sebuah keharusan sehingga keberadaan pemuda benar-benar bermanfaat bagi jalannya pemerintahan. Jika pemerintah secara rutin melibatkan pucuk pimpinan OKP untuk memberikan pembinaan, maka seiring waktu sifat-sifat anarkis yang selalu diidentikkan dengan keberadaan OKP akan berkurang.
"Kita memang butuh waktu untuk mengubah itu, tapi tidak ada yang tidak mungkin jika kita sudah berniat untuk memulainya," tegasnya.
Sementara itu, pengamat sosial Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Ansor mengatakan keberadaan Sapma OKP menjadi harapan baru yang bisa menetralisir berbagai stigma negatif tentang OKP ditengah masyarakat. Syaratnya, kader OKP yang tergabung dalam sapma OKP harus memiliki keberanian untuk "menerobos" berbagai kebijakan pimpinan OKP yang tidak sesuai dengan pola pikir mahasiswa selaku "Agen of Change". Bahkan menurutnya, jika keberadaan mereka tetap dianggap tidak memberikan manfaat bagi OKP tersebut maka sapma-sapma yang ada harus berani untuk berdiri diluar struktur OKP itu sendiri.
"Pola berfikir mahasiswa harus begitu, selaku agen perubahan maka keberadaan sapma-sapma ini harus memberi pengaruh positif. Bukan justru menjadi alat bagi OKP untuk mencari kader "Preman" dikampus. Kalau pola pikirnya masih seperti itu, maka keberadaan Sapma tetap akan dianggap sebagai preman kampus," ungkapnya.
Shohibul berkeyakinan, pola berfikir mahasiswa yang masuk dalam Sapma OKP akan sangat berbeda dengan pemikiran kader OKP yang tidak memiliki pengalaman duduk dibangku pendidikan formal. Dengan demikian, yang selalu diutamakan adalah pola berfikir untuk maju dan bukan mengandalkan kekerasan untuk mengembangkan pengaruh ditengah masyarakat.
"Banyak warga Sumut yang tidak mengedepankan kekerasan namun namanya hingga saat ini masih melekat dihati kita. Sebut saja Syamsul Anwar Harahap yang menjadi legenda tinju Sumatera Utara, dan banyak lagi. Mari kita ukir nama besar lewat prestasi dan bukan dari kekerasan," pungkasnya.[rgu]
KOMENTAR ANDA