post image
KOMENTAR
PAPA minta saham. Kasus ini menyentak kesadaran kita. Konon kabarnya, kasus ini diduga melibatkan Setya Novanto. Dan telah membuatnya mengundurkan diri dari posisi puncak di DPR-RI.

Dan sekarangpun, kasus terus bergulir ke ranah hukum. Istilah diduga” haruslah digunakan karena kita sangat menghargai asas praduga tak bersalah”.

Menarik dicermati bahwa disebutkan ada alat bukti berupa rekaman suara. Dan suaranya diduga” ada di dalamnya.

Sekali lagi, istilah diduga” harus digunakan karena secara forensik harus dibuktikan bahwa rekaman tersebut asli. Dan secara forensik harus dibuktikan bahwa rekaman tersebut berisi suaranya. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah Benarkah suara dalam rekaman adalah miliknya?”

Dengan pertanyaan ini tak heran jika dirinya menolak dan tentunya dia berhak menolak untuk mengakui bahwa ada suaranya di dalam rekaman itu.

Uji forensik harus dilakukan ketika alat bukti rekaman suara dijadikan alat bukti dalam pengadilan. Uji forensik ini disebut dengan Forensic Speaker Identification yang
disingkat dengan istilah FSI. FSI adalah salah satu bidang kajian dalam Ilmu Linguistik Forensik.

Di tanah air, FSI dipakai dalam berbagai kasus pengadilan yang menggunakan alat bukti rekaman suara yang diduga” berisi suara tersangka. Sebut saja kasus Anthony Zeidra Abidin (2008), Urip Tri Gunawan & Artalyta Suryani (2008), Antasari Azhar (2009), Mohammad El Idris (2011), James Gunarjo & Antonius Z. Tonbeng (2012), dan Akil Mochtar (2014).

Dalam FSI, uji forensik terhadap rekaman suara memiliki dua tahapan penting. Di tahapan pertama (tahapan awal), pengujian dilakukan untuk membuktikan bahwa rekaman itu adalah asli. Di tahapan kedua (tahapan inti), pengujian dilakukan untuk membuktikan bahwa suara dalam rekaman itu adalah suara tersangka.

Dalam hal ini sangatlah diperlukan seorang saksi ahli FSI yang profesional. Yaitu saksi ahli yang menguasai Ilmu Linguistik Forensik, khususnya FSI ini.

Nantinya, saksi ahli diharapkan harus mampu menjelaskan di persidangan tentang evaluasinya secara ilmiah. Evaluasi yang dia telah dilakukan dalam uji forensik terhadap rekaman suara yang dimaksud.

Menurut pendapat saya, saksi ahli dalam uji forensik rekaman suara belumlah maksimal di Indonesia. Ini terlihat dari sebuah karya ilmiah yang berjudul Forensic speaker identification: An experience in Indonesian court” yang diterbitkan dalam Prosiding International Congress on Acoustics di Australia 2010.

Di dalam artikel itu dijelaskan bagaimana selama ini saksi ahli bekerja dalam menganalisis bukti rekaman suara. Hasil analisisnya dipakai dalam persidangan kasus-kasus korupsi sejak 2008 di Indonesia.

Belum maksimal karena dalam analisisnya saksi ahli tidak menggunakan Likelihood Ratio (LR) dalam menguji dua hipotesis yang lazim dalam FSI. Hipotesis pertama (Hp -Prosecution Hypothesis) yaitu suara dalam rekaman adalah suara tersangka. Hipotesis kedua (Hd - Defense Hypothesis) yaitu suara dalam rekaman adalah bukan suara tersangka.

Lebih menarik lagi adalah unsur akustik yg dianalisis. Saksi ahli menganalisis pitch” dan formant” yang diekstrak dari suku kata. Hasilnya kemudian digunakan untuk menjelaskan empat aspek. Yaitu habitual pitch range, minimum-maximum pitch, first-second formant, dan speaking style.

Ada beberapa pertanyaan penting. Apakah pitch dan formant yang diekstrak dari suku kata bisa dijadikan discriminatory potential” untuk FSI di Indonesia? Apakah ekstraksi pitch dan formant dari suku kata didukung dengan sumber referensi terpercaya dalam FSI?

Apakah habitual pitch range, minimum-maximum pitch, first-second formant, dan speaking style bisa dijadikan aspek dalam FSI?

Menurut saya, pitch dan formant yang diekstrak dari suku kata belum bisa dijadikan discriminatory potential”. Dan saya belum menemukan sumber referensi terpercaya mengenai ekstraksi pitch dan formant dari suku kata.

Ekstraksi formant dari suku kata bisa menimbulkan diskrepansi” (ketidaksesuaian) dikarenakan ada beberapa bunyi fonem dalam suku kata baik di posisi onset, inti dan koda. Hal ini dapat berakibat fatal dengan tidak akuratnya unsur akustik suara yang diukur.

Selain itu, habitual pitch range, minimum-maximum pitch, first-second formant, dan speaking style belum bisa dijadikan aspek dalam FSI. Hal ini dikarenakan keempat aspek tersebut belum bisa menutup celah terhadap suara yang disamarkan.

Mengenai potensi suara yang disamarkan, secara sederhana kita dapat melihat keahlian seorang dalang. Dia mampu menghasilkan beragam suara dengan kualitas (voice quality) yang berbeda untuk memerankan banyak tokoh dalam cerita.

Dari sini kita memiliki kesimpulan bahwa pitch dan speaking style bisa dimanipulasi sedemikian rupa dalam berbicara.

Dengan kata lain, suara dengan pitch dan speaking style yang berbeda mampu dihasilkan oleh orang yang sama. Untuk itu, alangkah bijak jika dalam uji forensik rekaman suara yang selama ini dilakukan di Indonesia perlu adanya upaya perbaikan. Upaya ini tentunya akan berdampak positif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan bagi orang-orang yang ingin mencari keadilan di tanah air tercinta, Indonesia.***


Dr. Susanto Saman
Post-doc Research Fellow (Forensic Linguistics), Shanghai
Jiao Tong University (SJTU), Tiongkok
Anggota Germanic Society for Forensic Linguists (GSFL), Jerman
Kepala Pusat Studi Linguistik, Universitas Bandar Lampung (UBL), Indonesia

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini