BUMI selalu punya cara untuk menunjukkan keadilannya kepada para penghuni. Api, angin, air, dan tanah menjadi pasukan setia bumi untuk mengejewantahkan keadilannya.
Bumi tak pernah berpihak ke salah satu kelompok penghuni, keberpihakan bumi hanya kepada tujuan penciptaan manusia, mampu membuat peradaban, peradaban yang akan memakmurkan bumi. Surga dan neraka pun dapat dikalahkan bumi dalam ihwal menunjukkan keadilan.
Bentuk keadilan bumi kembali terjadi hari ini, pada peringatan Hari Pers Nasional 2016. Bumi memberikan keadilannya kepada pers, ia persilahkan api, angin, air dan tanah untuk membantu pers memukul telak pemuda.
Bumi terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada pemuda untuk menguasai situasi. Jauh sebelum bibit-bibit pers mulai muncul, pemuda sudah melebarkan selangkangannya, kaki-kakinya memijak seluruh permukaan.
Tak seperti tokoh pemuda yang tersohor dan selalu mendapatkan puja-puji, Tirto Adhi Soerjo perintis pers pribumi bagaikan pahlawan tanpa tanda jasa. Tak banyak anak bangsa yang mengenalnya, bahkan mendengar namanya saja sudah sangat jarang.
Di balik kekuasaan VOC masa itu, tidak mudah untuk merintis apalagi membentuk perusahaan surat kabar, tempat beraktivitasnya para pers. Dengan perilaku bunuh diri kelas yang dilakukannya, ia mampu melawan segala hambatan untuk mewujudkan dunia pers yang benar-benar dikuasai pribumi untuk kepentingan memerdekakan kehidupan setiap pribumi.
Seperti yang telah diketahui bersama, yang tidak lagi menjadi rahasia, perjalanan hidup manusia sangat dipengaruhi wacana. Agaknya itu alasan yang mendorong Tirto Adhi Soerjo untuk menciptakan lahirnya kemerdekaan pers, dari dan untuk pribumi. Seluruh pribumi, terutama yang berada dalam bayang-bayang penindasan tidak akan pernah sampai ke pintu kemerdekaan jika semangat pers pribumi tidak pernah lahir, semangat yang akan merebut dan menguasai wacana dari para kompeni.
Bukan tentang Tirto Adhi Soerjo, mungkin saja dia saat itu adalah pribumi yang berada pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Ini lebih kepada substansi pers, yang kemerdekaannya menjadi senjata paling utama untuk memerdekakan masyarakat.
Sebelumnya tak pernah dijumpai keadilan untuk pers jika dibandingkan dengan pemuda. Masyarakat hanya tahu bahwa pemuda yang menjadikan Indonesia bisa merdeka, hanya pemuda yang dipuja-puji oleh masyarakat Indonesia.
Ketidakadilan semakin mengental ketika pemuda tidak lagi menjadi sesuatu yang vital dan bersubstansi untuk pembangunan nasional. Kumpulan pemuda yang mengafiliasikan diri ke dalam setiap lembaga kepemudaan menjadikan kata pemuda sebagai tameng untuk memperkaya diri.
Padahal, melalui Indonesia, bumi telah mengamanahkan tugas suci untuk para pemuda. Pemuda diberikan amanah untuk menopang dan mengawal pembangunan nasional. Dengan setiap realita yang ada, alih-alih menopang dan mengawal pembangunan nasional, masyarakat dalam jenjang usia pemuda yang mengaku pemuda Indonesia malah menjadikan setiap aktifitasnya hanya untuk menghasilkan kemerdekaan diri sendiri, tidak peduli dengan masyarakat lemah, terpinggirkan dan tertindas.
Melihat perilaku buruk itu, bumi pasti merasa bahwa pemuda telah menyalahgunakan amanah yang diberikan. Bukan bumi jika ia tidak berbuat adil. Bumi mempersilahkan pers untuk memukul telak para pemuda, memukul sisi pengkhianatan pemuda tehadap pembangunan nasional.
Puncaknya, pada peringatan Hari Pers Nasional 2016, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) membuat rangkaian acara yang tidak sekadar simbolik dan seremonial. Mengambil tema Sail of Jurnalist, PWI akan mengarahkan setiap mata masyarakat dan media untuk melihat pentingnya kemaritiman Indonesia. Peringatan ini juga bisa menjadi cambuk untuk pemerintah yang tidak menjadikan Natuna sebagai sebuah kebijakan yang diprioritaskan.
Sebelumnya, pers selalu dibawah pemuda dalam pemberian apresiasi oleh masyarakat. Kali ini, dengan keadilannya, bumi mempersilahkan setiap pasukannya untuk membantu pers. Peringatan Hari Pers Nasional kali ini adalah yang terbesar dan menjadi sesuatu yang tak pernah dibuat pemuda pasca reformasi. PWI sadar bahwa Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensial sumber daya kemaritiman dan pariwisata kemaritiman yang sangat kaya.
PWI juga sadar kemaritiman semakin tidak dijadikan konsentrasi pergerakan pemuda dan kebijakan pemerintah. Dengan begitu, digandenglah TNI AL untuk menciptakan peringatan yang berbasis kepedulian terhadap kemaritiman Indonesia.
Dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda beberapa tahun ini misalnya, para lembaga-lembaga kepemudaan hanya membuat peringatan yang sekedar simbolik. Banjirnya peringatan simbolik menguatkan indikasi ketidakharmonisan antar pemuda, masing-masing kelompok menunjukkan kegagahannya, tak peduli apakah peringatan yang dilaksanakan bernilai dan berguna tinggi untuk pembangunan nasional.
Nyatalah peringatan Hari Pers Nasional 2016 ini menjadi pukulan telak untuk para pemuda, juga pemerintah.
Kalau pemuda tidak juga bangkit dan sadar betapa pentingnya mereka dalam pembangunan nasional, maka bukan hal yang mustahil jika di kemudian hari pers akan memberikan pukulan yang lebih telak.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA