Memperingati Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari setiap tahunnya, Dosen Pendidikan Musik Universitas Negeri Medan (Unimed) Mukhlis Hasbullah memberikan sentuhan nuansa yang berbeda, yakni pertunjukan komposisi musik instalasi bunyi berjudul Genderang Moetiara, dengan menggunakan medium mesin tik sebagai elemen utama dari bunyi.
Bersama tiga mahasiswanya, yakni Nanda, Habib dan Yankin. Mukhlis memainkan ritme musik menggunakan medium mesin tik ini sengaja ia angkat sebagai simbol kritik terhadap media massa.
"Sebenarnya pertunjukan tersebut sebagai peringatan Hari Pers Nasional yang dikonstruksi menjadi medium memori kolektif sebuah bangsa. Dalam hal ini, bunyi juga berperan dalam peradaban ini, dalam dunia media massa di Indonesia. Bagi Jurnalis senior bunyi mesin tik merupakan sebuah inspirasi, sebuah kenangan dan semangat. Karena itu saya ambil judul dalam dua kata, yakni Genderang Moetiara," kata Mukhlis, Rabu (10/2).
Dia menambahkan, Moetiara merupakan sebuah media massa besar yang terbit di Kota Medan pada tahun 1930 an. Jika diambil spirit mutiara tersebut, yakni dapat menyinari, meskipun dibuang kemana pun. Sementara genderang merupakan biasanya bunyi yang memberikan semangat.
"Dan selama 100 tahun lebih media massa lahir dengan simbol Moetiara, kita hidupkan kembali sebagai Peringatan Hari Pers. Jadi, Genderang Moetiara bisa ditafsirkan sebagai sesuatu semangat yang harus dan terus bersinar," ucapnya.
Namun, lanjutnya, saat ini Moetiara sudah mulai redup, dimana anak-anak muda jaman sekarang hanya mencari informasi di media massa melihat dari segi luarnya semata atau hanya di pinggir-pinggirnya dan judulnya saja. Jika mereka diberikan sebuah teknologi berupa komputer maka mereka akan bermain facebook atau game.
"Maka dari itu ketiga mahasiswa yang memainkan ritme musik, kita berikan mesin tik, agar semangat ruh dari mesin tik itu menjadi sebagai alat ketik sebuah inspirasi. Sengaja kita berikan mesin tik, supaya konsentrasi mereka akan penuh untuk menciptakan sesuatu dan menuangkan pikiran mereka. Dan ini hanya konotasi yang sengaja saya ciptakan tetapi berefek ganda dan berefek ritme seolah-olah mereka mengetik sesuatu, bahwa darisini kita bisa membayangkan bagaimana jurnalis dahulu memperjuangkan dan menuangkan isi kepalanya dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini," tuturnya.
Dikatakannya, setiap peristiwa-peristiwa sesuatu, musik merupakan sesuatu hiburan. Namun, disini ia sengaja meletakan musik dalam medium mesin tik merupakan simbol sebagai kritik dimana teknologi tidak selamanya memberikan informasi tetapi juga dapat mendangkalkan informasi.
"Karena itu saya berharap agar Genderang Moetiara dapat kembali bersinar untuk hari ini dan selamanya," harapnya.
Disinggung perbedaan Jurnalis dahulu dan sekarang, Mukhlis menuturkan, jurnalis jaman dahulu dengan jurnalis saat ini perbedaannya hanyalah dipersoalan wawasan atau inside. Wartawan dahulu juga lahir sebagai tokoh, tidak hanya mengambil berita dari lapangan tetapi menjadi penggagas. Sehingga, wartawan dahulu jika tidak punya gagasan, metode dan pesan yang menarik, imajinatif, konstruksi berpikir dan tidak memahami prosa kata, tidak akan berani menjadi wartawan. Proses seleksi inilah membuat media massa sangat bermutu. Sementara, saat ini orang berbicara di medsos seakan-akan sudah memberikan informasi padahal itu tidak.
"Jadi itu yang kita harapkan wartawan sekarang dapat memahami semua itu. Bukan hanya mengetahui dan menghapal imbuhan me dan kan semata tanpa mengumpulkan idiom-idiom sejarah dan sastra. Bahasa-bahasa sastra itu harus dipelajari, apalagi wartawan saat ini pentolan dari perguruan tinggi. Dan kita juga harus memerdekan cara berpikir. Disitulah kita dapat membangun peradaban, dan bagaimana seorang jurnalis Indonesia bisa menjadi kritik bagi dirinya, keluarga dan bangsanya agar dapat menjadi lebih baik lagi. Satu hal lagi, pelajaran Bahasa Indonesia itu juga harus diubah bukan lagi budaya menghafal, tetapi membangkitkan budaya membaca," tukasnya.[rgu]
KOMENTAR ANDA