Salah satu pengurus harian Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Teguh Santosa menilai gugatan yang dilayangkan awak pers mengenai peringatan Hari Pers Nasional (HPN) setiap tanggal 9 Februari wajar.
"Secara pribadi saya menganggap wajar kalau masih ada hal demikian. Mungkin yang berpandangan seperti itu punya alasan sendiri," kata Teguh kepada redaksi sesaat lalu (Rabu, 10/2).
Meski begitu Teguh yang menjadi Ketua Panitia Pelaksana HPN 2016 yang digelar di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mengajak insan pers tidak terjebak dalam perbincangan yang tidak produktif dan bersifat tautologis.
Teguh mengatakan pekerjaan jurnalis adalah mengawal perjalanan bangsa ini ke depan, menjaga agar Republik Indonesia bisa benar-benar menjadi negara seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa.
"Pers Indonesia berhadapan dengan persoalan yang lebih pelik hari ini. Kontribusi kita untuk bangsa dan negara ditunggu-tunggu masyarakat. Ini jauh lebih penting," tukasnya.
Dihimpun dari pemberitaan media online, gugatan mengenai penetapan Hari Pers Nasional antara lain disampaikan Kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas, Daniel Dhakidae. Menurut dia, keputusan pemerintah menetapkan peringatan hari pers pada 9 Februari berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani Presiden kedua RI Soeharto, keliru.
Hal itu lantaran penetapan HPN merujuk pada kelahiran sebuah organisasi profesi wartawan, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Padahal seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar.
Daniel mengatakan, jika ditelisik dari sejarah, maka kelahiran Medan Prijaji pada medio, Januari 1907, adalah titik kelahiran pers nasional. Hal tersebut karena Medan Prijaji adalah surat kabar pertama milik pribumi, yang terbit secara mingguan.
Hal senada disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Suwarjono. Organisasinya, kata dia, menolak penetapan 9 Februari sebagai HPN karena tanggal tersebut hari lahir PWI.
"Ke depan, kami mendorong pemerintah untuk meninjau ulang HPN dengan melakukan kajian dengan masyarakat pers dan pada sejarawan untuk menentukan HPN. Agar peringatan yang dimaksud tidak hanya untuk merayakan satu organisasi pers saja," ungkap Suwarjono.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA