DALAM konsep kebenaran, dua hal yang sedang berseberangan tidak bisa menjadi benar keduanya. Hanya salah satunya yang dapat menjadi benar atau keduanya juga bisa menjadi sama-sama salah, tidak ada yang benar.
Asal muasal penciptaan manusia datang dari sebuah rencana-Nya, yang maha benar. Sesuatu yang berdiri sendiri, tidak mempunyai pembanding, tidak ada celah untuk salah. Walaupun misalnya sesuatu itu adalah buruk, itu tetap benar dalam klausul keburukannya.
Hal itu sudah menutup celah untuk mengkambinghitamkan Sang Pencipta untuk setiap hasil yang diterima manusia. Tidak terlepas sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk.
Medan menjadi kota yang telah bersedia menyediakan sekolah untuk mengajarkan warganya tentang konsep kebenaran. Pelajaran tentang konsep kebenaran itu terjadi ketika Medan sedang sepi sementara ruang maya disesaki oleh “perang” dua organisasi kepemudaan.
Di dalam sekolah itu, Sang Pencipta merasa kewalahan untuk mengajarkannya konsep kebenaran. Hampir semua murid tidak dapat dikendalikan, mereka menggosip, mengejek, apatis dan melakukan berbagai hal gila lainnya.
Sebagai guru yang baik di sekolah itu, Sang Pencipta memahami kewajiban untuk menyelesaikan tugasnya. Namun Ia tetap tak boleh memasang sikap tangan besi, itu tidak ada di daftar sikap-sikap yang boleh digunakan-Nya. Beruntung Ia tak punya nafsu. Kalau saja Ia punya nafsu, bisa musnah luluh lantah seluruh murid dan sekolah itu dibuatnya.
Bukan Sang Pencipta jika ada keinginan untuk menyerah walau sedikit. Ia gunakan “perang” dua organisasi kepemudaan dan keadaan ruang kelas yang sedang gila sebagai contoh untuk pendekatan menuju pemahaman konsep kebenaran.
Sang Pencipta bertanya kepada seluruh murid, "Dalam 'perang' antara dua organisasi kepemudaan di kota kalian ini, Medan, siapa yang salah? Kemudian siapa yang kalah?".
Kebiasaan kelas yang gila hampir menjadi tabiat untuk kebanyakan murid-murid. Para murid menjawab pertanyaan tersebut tetap dengan tingkah-tingkah gilanya.
Jawaban pertama yang muncul berasal dari murid bernama Apatis. Apatis menjawab, "Kita jangan bahas mereka hai Sang Pencipta, biarkan saja mereka. Mereka sudah dewasa,”.
Sambil menarik nafas, Sang Pencipta beralih kepada murid yang bernama Antagonis. Antagonis menjawab dengan nada yang sangat sombong, "Siapa yang peduli mana yang salah dan mana yang kalah. Bubarkan saja kelompok apapun yang berbuat kerusakan."
Sang Pencipta menimpal sedikit, "Kau siap ikut langsung untuk membubarkannya?"
"Untuk apa? Lebih baik aku lakukan hal-hal yang dapat membuahkan pundi-pundi uang untuk kenikmatanku." jawab Antagonis.
Kali ini dengan tarikan nafas yang lebih berat, Sang Pencipta mengalihkan pertanyaan kepada murid bernama Oportunis. Oportunis tidak menjawab apapun, bahkan tak melihat ke arah Sang Pencipta.
Sang Pencipta mendekatinya, sambil bertanya tentang apa yang sedang dilakukan oleh si Oportunis. Ternyata Oportunis sedang sibuk dengan media elektroniknya, ia sedang menulis di media pribadinya. Tulisan-tulisan yang mengikutsertakan video-video kekerasan dalam 'perang' Medan.
Dengan nada kesedihan Sang Pencipta kembali bertanya, "Mengapa kau lakukan itu Oportunis? Bukankah kita sedang belajar tentang konsep kebenaran?"
Kepongahan yang tidak tanggung mengiringi jawaban Oportunis, “Aku bisa saja membantumu mengajarkan konsep kebenaran. Namun ini lebih menguntungkan untukku, rating unduhan dalam mediaku ini begitu tinggi, aku untung besar. Biar saja yang tidak tahu konsep kebenaran itu tersesat."
Wajah lelah Sang Pencipta mengantarkannya kembali ke tempat duduk di depan ruang kelas sekolah itu. Dalam diam dan lelah-Nya mengisyaratkan sebuah kekecewaan. Kecewa terhadap manusia dan warga Medan. Agaknya sudah sudah habis harapan dan niat baik untuk membangun peradaban yang baik dan sukses.
Sesaat sebelum Sang Pencipta mengeluarkan kata-kata selanjutnya, murid bernama Protagonis angkat bicara, “Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya dua organisasi kepemudaan tersebut salah dan sama-sama kalah. Tidak hanya itu, kami yang ada di ruang kelas ini juga salah dan seluruh warga Medan salah. Begitupun dengan kekalahan, juga ada pada kami. Sebab dua organisasi tersebut tidak benar-benar menghargai dirinya sebagai manusia, mereka membahayakan kemanusiaannya dan disitu mereka sudah salah-kalah. Lalu seluruh murid dan warga Medan semua salah dan kalah, kalah karena tidak mencari penyebab paling dasar dari 'perang' itu. Kami juga tidak peduli bagaimana keadaan kota kami ini, yang kami tahu hanyalah urusan perut dan kelamin. Kami tidak berupaya membangun peradaban yang sehat dan sukses di kota Medan ini. Bagiku, jawaban ini bukan sekedar tentang pelajaran konsep kebenaran. Bagiku, ini juga janjiku, berupaya maksimal untuk mewujudkan medan beradab, medan madani, dengan intelektualitas sebagai budayanya."
Dengan simpul senyum Sang Pencipta kembali berkata-kata, "Benar nak, dalam konsep kebenaran, jika mengambil contoh dua pihak yang sedang berseberangan bisa menghasilkan kesalahan di keduanya. Jika ada potensi untuk benar, maka hanya salah satunya yang bisa benar, tidak bisa keduanya. Untuk contoh tadi, semua salah dan semua kalah. Dua organisasi kepemudaan itu salah dan kalah, kalian yang ada di dalam ruang sekolah ini juga salah dan kalah, seluruh warga Medan juga salah dan kalah. Maka capailah kebenaran untuk kalian semua, menanglah, beradablah, dan madanilah!"
Pelajaran selesai dan ditutup dengan segumpal refleksi dan kontemplasi.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA