post image
KOMENTAR
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Misran Lubis memaparkan, berdasarkan data penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum sepanjang tahun 2015 sebanyak 144 kasus. Jika dibandingkan dengan laporan pengaduan tahun 2014 maka terjadi peningkatan kasus kejahatan terhadap anak 65%.

"Dari laporan kantor PKPA di dua lokasi yaitu Medan dan Nias, jumlah kasus terbanyak terjadi di Nias, sebanyak 74 kasus. PKPA Nias juga menerima pengaduan untuk pendampingan anak sebagai saksi sebanyak 103 anak, sehingga total keseluruhan anak berhadapan dengan hukum yang didampingi PKPA sebanyak 247 anak," terang Misran, Rabu (27/1).

Selain itu, lanjutnya, kasus kekerasan seksual menjadi kasus yang paling banyak terjadi, dari 70 kasus ABH di Medan terdapat tiga kategori kasus kekerasan anak yang dominan terjadi merupakan kasus-kasus yang sangat membahayakan anak dan merupakan bentuk kejahatan terberat terhadap anak, yaitu kekerasan seksual, termasuk pencabulan dan pemerkosaan sebanyak 28 kasus (40%), trafficking anak sebanyak 9 kasus (12,8%), dan incest sebanyak 8 kasus (11,4%).

"Situasi yang lebih memprihatinkan terhadap kejahatan anak juga dapat dilihat dari Penanganan kasus PKPA cabang Nias, dari  74 kasus anak sebagai korban ( 29 laki-laki dan 45 perempuan) dan 16 kasus anak sebagai pelaku (13 laki-laki dan 3 perempuan). PKPA Nias juga telah mendampingi sebanyak 103 anak sebagai saksi (65 laki-laki dan 38 perempuan). Jadi, jika kita akumulasikan penanganan kasus PKPA Medan dan Nias pada tahun 2015 telah sebanyak 144 kasus," kata Misran.

Dijelaskannya, sebaran kasus kekerasan anak yang terjadi melalui penanganan PKPA Medan sendiri sangat di dominasi terjadi di kota Medan dengan 58 kasus (82,8%), disusul dengan kota Binjai 6 kasus, kabupaten Serdang Bedagai 5 kasus, kota Tanjung Balai dan Siantar masing-masing 1 kasus. Jumlah kasus yang tertangani tersebut cukuplah tinggi, dan tentu itu masih belum terhitung banyaknya kasus yang terjadi namun tidak diangkat dan mendapatkan respon yang cukup, baik dari pemerintah melalui aparat penegak hukum, maupun masyarakat sendiri yang belum berani melaporkannya.

"Melakukan pendampingan hukum terhadap kasus-kasus anak tentu bukanlah hal yang mudah. Terkadang ketika kasus terjadi dan sudah dapat dibuktikan pelaku bersalah, namun tetap saja masih banyak upaya-upaya melakukan intervensi, ancaman bahkan terkesan kasus tidak diproses," ujarnya.

Apalagi, lanjutnya, kasus-kasus anak dengan pembuktian yang cukup sulit, seperti kasus anak di kepulauan Nias yang tidak dilakukan proses hukum kepada pelaku karena korban “anak” mengalami retardasi mental sehingga pembuktiannya memerlukan bantuan psikolog untuk mengungkap informasi dari korban.

"Kebijakan pemerintah dalam upaya perlindungan anak seringkali tidak direspon baik oleh penyelenggara pemerintah dan penegak hukum di daerah. Fasilitas layananan rumah aman yang tidak berjalan maksimal dan belum tentu ada di setiap daerah, adanya upaya kriminalisasi dan pemotongan anggaran jika terkait dengan Hak Azasi Manusia (HAM), khususnya perlindungan anak dan perempuan. Bahkan dukungan biaya pendidikan melali Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi anak yang tidak merata menimbulkan kerentanan bagi pemenuhan hak-hak anak dari keluarga miskin," tukasnya. [hta]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas