PENGHUNI kerajaan langit mungkin akan tertawa melihat tingkah sebagian besar manusia. Tingkah manusia-manusia yang selalu memakai topeng dalam menjalankan kehidupannya.
Mungkin akan terbesit dengan penuh kekesalan di dalam hati pemegang kekuasaan kerajaan langit, “lebih baik dahulu kami ciptakan wajah manusia yang tak permanen, bisa diganti sesuai maksud dan tujuan”. Bukan mustahil, prasangka itu timbul karena tabiat sebagaian besar manusia selalu menunjukkan kepalsuan, maunya A namun wajah yang dipasang adalah B.
Ternyata Indonesia juga tidak akan terlepas dari kekesalan pemegang kekuasaan kerajaan langit. Usut punya usut, kekesalan terhadap Indonesia bukan hanya karena manusia-manusianya suka memakai topeng, tapi karena pemegang kekuasaannya ceroboh menggunakan topengnya.
Akibatnya, Indonesia berada dalam sebuah kekacauan yang tak tahu kapan akan berakhir, tidak sesuai dengan keinginan kerajaan langit yang mencita-citakan kemakmuran untuk bumi.
Topeng kebohongan terbesar terjadi ketika pemegang kekuasaan di Indonesia, pemerintah, mencederai niat dan cita baik anak-anak bangsanya. Anak-anak bangsa yang mengorganisasikan diri pada sebuah gerakan mulia yang sekarang telah dicap sesat dan tidak diterima masyarakat, Gafatar.
Berbagai asumsi dan argumentasi beredar kencang disekitar tindak-tanduk Gafatar. Dimulai dari pemerintah memberikan cap sesat, kemudian masyarakat ikut memberikan cap sesat tanpa nalar berpikir yang jelas, hingga perang media antara yang menguatkan lekatan cap sesat dan yang mencoba menyuguhkan sebuah keadilan.
Bukan meracau, bukan membela, bukan memasang diri sebagai simpatisan, karena bukan untuk itu semua tulisan ini ada. Tulisan ini ada untuk merajut segala bukti dan gejala alam untuk mendapatkan keadilan terkait kasus-kasus bertema Gafatar.
Terdapat sebuah benang yang dapat memperkuat rajutan menuju keadilan tersebut, pernyataan-pernyataan dari satu tokoh di Medan dan eks Gafatar.
Beliau telah memaparkan klarifikasi tentang konsentrasi gerakan Gafatar. Beliau menjadi antitesis dari beberapa pernyataan pemerintah tentang Gafatar.
Beliau adalah Dadang Darmawan Pasaribu, seorang tokoh yang bukan menokohkan dirinya sendiri. Tanpa hasrat politik praktis nan pragmatis, berorientasi pada nilai moril, manusia religius, menggambarkan dinamisasi dalam menjalankan aktivitas hidupnya.
Kalau memang Gafatar sesat, bagaimana bisa tokoh sekuat dan semayor itu tertarik untuk include di dalamnya?
Karena memang entah apa yang menjadi dasar pemerintah memberikan cap sesat terhadap Gafatar. Pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait hanya menggunakan kasus orang hilang untuk menjustifikasi Gafatar sesat. Adilkah?
Di berbagai media, Dadang Darmawan Pasaribu sudah menyampaikan bahwa gerakan Gafatar tidak menyentuh ranah agama apapun, upaya membangun mental dan moral yang kian terkikis adalah gerakan Gafatar sesungguhnya.
Ada juga yang gerah dan menganggap ada sentuhan pada ranah agama dalam memandang dua cita-cita Gafatar, sebagai “juru selamat” dan “manusia unggulan”. Bukankah memang itu yang menjadi prinsip esensial penciptaan manusia di bumi?
Gafatar bahkan melebihi pencapaian pemeluk dan penggiat agama-agama untuk memakmurkan bumi.
Pemeluk dan penggiat agama-agama hanya menjadikan agama sebagai sebuah kendaraan komoditas raksasa, terserah mau digunakan untuk kepentingan apapun asal sama-sama senang.
Lalu bagaimana terkait orang hilang? Coba sama-sama kita pikirkan, jika satu keluarga pergi entah kemana, apakah itu disebut hilang? Apa bedanya dengan orang yang merantau? Apakah sama pemaknaan antara hilang dan merantau?
Dadang Darmawan Pasaribu juga sudah menegaskan bahwa akan kooperatif dalam menanggapi kasus yang katanya hilang itu. Selain itu, jika kita menggunakan nalar berpikir yang jernih, maka bukankah dari 2012 lalu mestinya sudah banyak yang melaporkan kasus orang hilang terkait Gafatar? Itu mengingat jumlah anggota Gafatar berjumlah ribuan.
Kita kembali kepada persoalan topeng yang sedang digunakan pemerintah, apa sebenarnya yang menjadi wajah asli mereka dalam memandang Gafatar?
Sesuai hukum gerakan yang kurang lebih menyatakan bahwa setiap yang dapat menjadi ancaman dan berpotensi mengganggu pola yang telah termaktub di “batu tulis”, harus dibuat takluk ikut dalam “arus” atau dibuat “mati.”
Melihat tanah Indonesia dan kehidupan manusianya yang sedang “diperkosa”, sudah pasti gerakan yang dibangun Gafatar adalah kekuatan yang sangat potensial untuk melawan. Terdapat sebuah tarikan kesimpulan yang mengatakan bahwa pihak yang mencederai Gafatar adalah pihak yang sedang “memperkosa” tanah Indonesia dan kehidupan manusianya. Jika hari ini pemerintah adalah pihak yang menjadi garda terdepan dalam aksi menebarkan stigma negatif terhadap Gafatar, maka pemerintah terindikasi sedang “memperkosa” tanah Indonesia dan kehidupan manusianya.
Itulah wajah asli yang ada di pemerintah, mereka memiliki berbagai gerakan untuk hiden kepentingan. Pemberian stigma negatif yang beralasan menyelamatkan hidup beragama masyarakat Indonesia adalah topenya.
Gafatar dicap sesat dan tak diterima masyakarat, siapa yang senang?
Pemerintah dan seluruh “tangan-tangan” jahat dibelakangnya yang senang, mereka menari-nari merayakannya.
Seluruh muatan argumentasi pada tulisan ini juga memberikan peringatan kepada seluruh anak bangsa, kita harus cerdas dalam memahami nilai-nilai moril dan prinsip Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar kita untuk berbangsa dan bernegara, bukan pernyataan dan perilaku pemerintah.
Jika aktuasilasi tersebut tidak disegerakan, maka manusia-manusia di Indonesia akan terus di adu domba dan pada akhirnya gugur sia-sialah putra-putri terbaik bangsa.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA