Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan, penerapan kuota eksplisit maupun semi-kuota yang diterapkan terhadap perdagangan garam belum beres, akibatnya perdagangan tidak kompetitif.
Akibat penerapan sistem kuota itu, saat ini hanya sekitar enam atau tujuh pemain yang menguasai pangsa pasar pangan impor termasuk garam. Bahkan mereka yang diberikan impor pun ternyata produsen besar. Karena itu ia menegaskan sistem impor pangan berdasarkan kuota atau semi-kuota harus diubah.
"Kami minta ke Kementerian Perdagangan untuk menyiapkan, menetapkan tarif antara Rp 150 untuk melindungi petani garam dalam negeri," kata Rizal usai memimpin rapat koordinasi di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (21/1).
Dengan penerapan sistem tarif ini, menurut Rizal nantinya tidak hanya pemain-pemain besar yang bisa mengimpor garam industri.
Namun, diakui mantan Kepala Bulog ini, ada kendala untuk menerapkan sistem tarif. Negara-negara yang sudah menjalin perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Indonesia tentu tidak bisa dikenai tarif impor.
"Sebagai solusinya kami minta Kementerian Perdagangan mengkaji penerapan safe guard mechanism yang tidak melanggar FTA, namun tetap bisa melindungi kepentingan nasional,"kata Rizal
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Srie Agustina, menuturkan, penerapan safe guard mechanism memang bisa dilakukan, termasuk menghadapi negara-negara yang menjalin FTA dengan Indonesia.
"Intinya beliau (Rizal Ramli) mengatakan pakai tarif. Kalau enggak bisa pakai tarif karena FTA, pakai safe guard mechanism. Kami bilang (pakai safe guard mechanism) bisa saja pak, tapi lewat penyelidikan, biasanya sampai berapa bulan," jelas Srie usai rapat di kantor Rizal.
Safe guard mechanism yang dimaksud Srie yaitu Bea Masuk Tindak Pengamanan Sementara (BMTPS). Mekanisme ini memang bisa digunakan ketika banjir importasi berdasarkan hasil penyelidikan terbukti merugikan industri dalam negeri.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA