SEJAK mulai digagas dan diperjuangkan oleh founding fathers, Indonesia memiliki nilai luhur yang terjewantahkan ke dalam Pancasila untuk selanjutnya dikembangkan menjadi konstitusi Indonesia. Dalam Pancasila tersebut, terdapat lima poin yang tidak berdiri secara parsial. Lima poin tersebut berjalan secara terintegrasi untuk menjadikan orang-orang Indonesia menjadi manusia yang sekedar “ada”.
Pancasila yang kemudian memiliki turunan berupa konstitusi menjadi hukum untuk membatasi kebebasan warga negara Indonesia dalam menjalankan aktivitasnya sebagai manusia di teritorial kekuasaan NKRI. Untuk menjadikan hukum dapat berdiri tegak menjadi sebuah status quo, diciptakanlah perangkat-perangkat yang mampu mengawal dan menjalankan hukum tersebut.
Muncul beberapa lembaga yang diberikan amanat untuk mengawal dan menjalankan hukum tersebut, hingga Indonesia hampir sesak dengan kekuasaan hukum, bukan sesak dengan kekuatan hukum. Hukum bukan untuk dimiliki, apalagi untuk diselewengkan. Namun yang dipertontonkan oleh beberapa lembaga pengawal dan pelaksana hukum tadi justru memberikan tontonan seperti itu.
Lihat saja kejadian beberapa lalu saat KPK melakukan penggeledahan ke DPR RI, menggunakan marwah arogansi yang tinggi dengan membawa anggota kepolisian berseragam lengkap dengan senjata laras panjang. Untuk apa KPK membawa beberapa anggota kepolisian berseragam lengkap? Berbeda dengan penanganan teroris di sarinah beberapa hari lalu, hanya beberapa polisi yang berpakaian casual yang tampil. Apakah menurut KPK kantor DPR RI tersebut adalah sarang teroris? Apakah KPK menyangka para anggota DPR RI tersebut menggunakan pengawal yang siap menembaki kepala orang-orang yang coba menggeledah kantornya?
Walaupun kebencian mayoritas masyarakat terhadap kebobrokan anggota legislatif juga besar, namun beberapa unggahan di media sosial menunjukkan bahwa tak sedikit masyarakat yang marah melihat arogansi KPK tersebut.
Pembelaan masyarakat kepada DPR RI dan kebencian yang ditujukan untuk KPK adalah hal yang sangat wajar. Sebab, kantor DPR RI tetaplah kantor rakyat dan DPR RI tetaplah wakil rakyat. Dengan ikut tersinggungnya banyak masyarakat dalam peristiwa tersebut, menjadi bukti masyarakat masih memahami nilai pancasila poin keempat.
Selain itu, ketersinggungan masyarakat tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat sudah pintar, tidak buta lagi akan hukum-hukum yang ada.
Kalau tersinggung dan marahnya masyarakat tersebut merupakan cerminan dari kepemahaman mereka terhadap nilai Pancasila dan hukum-hukum yang ada, lalu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala pimpinan KPK? Untuk masyarakat yang malah membela KPK, apakah mereka belum paham terhadap nilai Pancasila dan hukum-hukum yang ada, Ruhut Sitompul contohnya?
Beberapa saat yang lalu, KPK sempat dibela dan dieluh-eluhkan menjadi penyelamat rakyat Indonesia untuk memberantas para koruptor di Indonesia ini. Namun dengan yang terjadi beberapa saat lalu, peristiwa gesekan suara-suara antara anggota KPK dan salah satu pimpinan DPR RI, berpotensi untuk menjadikan rakyat semakin apatis dalam bernegara. Rakyat dalam kebingungan yang nyata, tak tau siapa lagi sosok yang dapat dipercaya untuk mengawal dan menjalankan hukum-hukum dengan benar di Indonesia.
Jika dikerucutkan, maka keapatisan ini timbul karena praktik hukum telah bertransformasi menjadi sesuatu yang relatif. Penggunaannya tergantung syahwat dan nafsu pribadi yang sedang berada pada pucuk strutur lembaga hukum tertentu. Hukum bukan lagi menjadi sebuah sistem, hukum menjadi alat untuk mereka.
Pada akhirnya, hukum relatif ini menciptakan negara apatis.
Bentuk apatis dalam bernegara ini adalah hal yang sangat berbahaya untuk moril bangsa Indonesia. Tidak akan ada bentuk solidaritas antara sesama manusia, sesama makhluk Tuhan. Rakyat akan mengalami sebuah anomali besar. Mementingkan diri sendiri, tidak peduli lagi dengan hukum-hukum yang membatasi aktivitasnya, menjadi manusia unsosial.
Jika berbagai kekacauan yang terjadi di Indonesia sejak 14 januari lalu kemarin tidak segera ditemukan obatnya oleh yang berwajib, maka pilihan untuk nasib Indonesia hanya ada di masyarakat. Apakah menjadi manusia yang tak sadar keadaan kemudian mati atau bangkit ikut memperbaiki kondisi Indonesia?
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA