post image
KOMENTAR
Aksi teror yang terus merebak dan makin banyaknya jumlah pengikut kelompok teroris adalah sebagai dampak dari buruknya pola penangkapan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 Polri.

Demikian disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam keterangannya kepada redaksi, Selasa (19/1).

Menurut Neta, Densus 88 sebagai satuan khusus untuk penanggulangan terorisme dinilai cenderung bergaya algojo mengeksekusi mati tersangka di lapangan. Padahal, tugas Polri adalah melumpuhkan dan membawa tersangka ke dalam proses hukum dan bukan mengeksekusi matinya di lapangan.

"Cara-cara yang dilakukan Densus 88 menyiksa dan mengeksekusi mati tersangka dalam penangkapan telah melahirkan dendam kesumat yang luar biasa, terutama terhadap Polri," ujar Neta.

Diluar dugaan, lanjut Neta, pola penangkapan ini telah melahirkan sikap simpati untuk ikut "berjihad" melakukan balas dendam, baik dari para keluarga tersangka maupun kelompok-kelompok radikal lainnya. Tak heran arus keberangkatan para simpatisan kelompok radikal ke Syuriah kian banyak dan diam-diam mereka kembali ke Indonesia setelah bergabung dengan kelompok radikal ISIS.

Kasus Bahrun Naim misalnya, semula dia bukan teroris. Naim hanya teknisi komputer yang suka mengkritisi sikap Densus 88 di media-media online Islam. Di tahun 2010 Naim tiba-tiba ditangkap di jalanan dan disiksa. Naim dituduh menyimpan senjata dan peluru. Saat itu juga di facebook-nya muncul sikap simpati anak anak muda pada nasib Naim.

"Mereka mencaci maki Densus. Akhirnya Naim divonis 2,5 tahun. Lepas dari penjara Naim ke Syuriah. Lalu bergabung dengan ISIS. Begitu juga dengan anak Imam Samudra yang masih remaja ke Syuriah. Akibatnya muncul generasi teroris yang turun temurun, yang akan menyulitkan bagi bangsa ini untuk mengatasinya. Proses deradikalisasi gagal yang terjadi dendam kesumat kian marak dan menjadi kayu bakar terorisme. Fenomena ini perlu kita cermati semua pihak," terang Neta membeberkan.

Neta menambahkan, sebenarnya program deradikalisasi harus sejalan bersinergi dengan program penindakan yang profesional. Celakanya, masing-masing pihak di jajaran aparat keamanan cenderung mempertinggi egosektoralnya. Akibatnya pelaksanaan tugas di lapangan saling merugikan satu sama lain.

Ke depan, sambung dia, bangsa ini perlu pemimpin Densus 88 yang berwawasan luas dan bisa mengendalikan anak buahnya di lapangan agar bertindak profesional. Selain itu kendali Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang mengakar ke seluruh unsur yang berhubungan dengan penanggulangan teror perlu ditingkatkan. Sehingga bangsa ini tidak hanya kebakaran jenggot saat aksi teror bom meledak. [hta/rmol]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas