"JALUR belakang” sudah mulai populer sejak orde baru. Penggunaan kata tersebut lazim digunakan semenjak nepotisme berjalan kencang pada orde baru. Reformasi yang diharapkan untuk mengurangi nepotisme hingga kolusi dan korupsi ternyata tidak juga bisa menjadi obat.
“Jalur belakang” menjadi “pelicin” untuk setiap urusan yang strategis. Hingga pasca reformasi “jalur belakang” tidak hanya digunakan untuk urusan strategis, urusan teknis ikut dapat bagian.
Kebiasaan menggunakan “jalur belakang” tadi kemudian terkristal menjadi mental yang siapa saja di Indonesia ini dapat memilikinya. Kebiasaan menggunakan calo untuk berbagai urusan contohnya, menjadi bukti betapa kuatnya praktik penggunaan “jalur belakang” di Indonesia.
Saking populernya penggunaan “jalun belakang” tersebut, tampaknya membuat teroris pada tragedi bom sarinah terinspirasi. Ya, tragedi teror terkesan menggunakan “jalur belakang”. Betapa tidak, bagaimana kawasan yang sudah terlalu dekat dengan beberapa tempat vital Indonesia bisa kecolongan?
Sesaat setelah tragedi bom sarinah, ISIS membuat pernyataan bahwa merekalah pihak yang meneror Jakarta.
Namun, perlu kita ketahui bahwa ada kecenderungan ISIS adalah kelompok teroris yang sengaja dibentuk pihak tertentu untuk menjalankan kepentingan-kepentingan besar. Kecenderungan tersebut mendapatkan “benang merah”nya ketika terbukti ISIS bukan kelompok teroris yang “buta” internet. Banyak ditemui berbagai website dan media sosial yang identik dengan ISIS. Internet adalah teknologi berbasis proxy, artinya setiap pengguna internet dengan sangat mudah untuk ditemukan keberadaannya. Lalu, kenapa sangat sulit untuk memberantas ISIS hingga ke akarnya? Ada apa dengan negara super yang terkenal ahli dalam menggunakan internet?
Karena hal tersebut, maka terdapat indikasi bahwa ISIS adalah rekayasa, sengaja dibuat, tidak radikal. Dengan demikian, sesuatu yang tidak didasari oleh radikalisme cendurung memiliki pola hidup yang pragmatis. ISIS mengarah kepada kelompok teroris yang bisa “dipesan” oleh siapapun tergantung pola kesepakatan.
Apa hubungannya dengan “jalur belakang” di tragedi sarinah?
Setiap negara memiliki intelejen yang mampu berperan sebagai mata dan telinga untuk menjaga keamanan. Sarinah tak jauh dengan istana presiden dan beberapa tempat vital Indonesia. Untuk areal yang sevital itu, apa mungkin intelejen Indonesia, BIN, bisa kecolongan?
Jika ada teroris yang berhasil menembus pertahanan intelejen sebuah negara, maka timbul kecurigaan bahwa mereka menggunakan “jalur belakang”.
Apakah benar teroris mulai tahu dan menggunakan “jalur belakang” untuk masuk ke Indonesia?
Jika memang jalur tersebut yang digunakan, maka “orang dalam”lah yang bisa memberi tahu jalur tersebut memang ada. Kemudiaan ada pertanyaan yang akan muncul di kepala setiap masyarakat, “siapa “orang dalam” tersebut?”.
Untuk mengetahui pasti siapa “orang dalam” tersebut, tentu harus menggunakan kemampuan intelejen yang tinggi. Kalau sekaliber BIN sampai kecolongan, lalu siapa yang bisa membongkar jati diri “orang dalam” ini?
Perlahan puzzle-puzzle mulai tersedia sebagai bahan untuk menemukan siapa sebenarnya pihak yang punya andil dibalik tragedi bom sarinah. Tak perlu terlalu berspekulasi, masyarakat sudah cukup cerdas menilai.
Apalagi ditambah dengan adanya permasalahan-permasalahan strategis terkait nasib bangsa dan negara Indonesia yang tertutupi oleh pemberitaan tragedi bom sarinah, masyarakat pasti lebih mudah dalam menganalisis siapa dalang dibalik kekacauan ini.
Kalau sudah menemukan gambaran yang tidak abstrak tentang siapa dalang dibalik kekacauan ini, apakah masyarakat, mahasiswa khususnya, akan terus tutup mata dan tutup mulut? Asal jangan sampai tutup nyawa.
Tampaknya masyarakat memang dituntut untuk mengasah kemampuan intelejennya, terhitung sebagai bantuan cadangan kalau saja BIN sampai kecolongan lagi.
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA