BEBERAPA hari belakangan, topik hangat yang ramai dibicarakan adalah persoalan terorisme. Bermula dari kejadian saling tembak dan peledakan sebuah pos polisi di kawasan Sarinah Jakarta. Peristiwa ini lantas bertansformasi diri ke beragam bentuk wacana dan menyebar cepat ke banyak tempat. Sebagaimana virus wacana yang menginfeksi dan saling menularkan dari satu orang ke orang lain, satu kelompok ke kelompok masyarakat lain.
Salah satu virus wacana yang menggejala adalah 'Kami Tidak Takut'. Pewacanaan ini merupakan bagian dari upaya konsolidasi semangat kolektif atau kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Patut diapresiasi. Tetapi sejauhmana upaya ini bisa menyentuh persoalan mendasar dari terorisme masih bisa diperdebatkan. Cukupkah respon sosial semacam ini menghindarkan kita dari pengulangan kejadian sama?
Coba hitung! Berapa kali sudah kepala kita pecah, usus kita terburai, dan tubuh kita berserakan diledakkan bom? Berulangkali sudah. Lucunya (yang sudah tak lucu lagi), paska peristiwa pikiran kita melayang entah kemana-mana. Tidak fokus pada persoalan strategis, yaitu lemahnya sistem bernama negara melindungi dan memberikan rasa aman kepada warganya. Semakin terasa absurd karena negara sebagai wujud nyata sistem kolektif seakan terlihat gagap bekerja secara sistemik merespon peristiwa pengeboman. Sebagai warga negara kita pun seolah berjalan dalam gelap sembari berdebar menunggu waktu untuk jatuh (lagi) ke lubang (sama). Booom!!!
Negara melalui berbagai aparaturnya berwacana kesana-kemari sembari menampilkan gestur politisi amatiran. Ironisnya, aparat keamanan kita secara simbolik justru menghadirkan teror baru berbentuk ancaman penangkapan terhadap wacana yang dianggap tidak sejalan dengan arus utama pewacanaan Negara. Dari keadaan seperti ini, apakah tak pantas kita bertanya relevansi 'Kami Tidak Takut'?
Kemarin warga desa Kalensari, Subang, Jawa Barat menolak jenazah salah seorang pelaku teror, Sunakim, untuk dimakamkan di desa mereka. Mereka beralasan Sunakim telah mencoreng nama baik desa. Penolakan warga ini secara simbolik bisa dibaca sebagai bentuk penolakan atas label 'desa teroris' yang bisa jadi disematkan kepada tanah mereka. Pelabelan ini mungkin dan bisa saja terjadi mengingat kebiasaan kita yang gemar menstigmatisasi dan memberi label kepada orang lain seenaknya saja. Kebiasaan yang lahir dari kemalasan berpikir dan mencari tahu sabab-musabab terjadinya suatu peristiwa. Kemalasan berpikir yang membuahkan sikap 'menggampangkan' saja.
Mau tidak mau, mesti dipahami bahwa 'teror' adalah sebuah kata kerja. Suatu tindakan menjadi sebuah teror ketika ada dampak mental yang ditimbulkannya, yakni rasa takut. Rasa takut laten tertanam di dalam kepala sehingga tanpa adanya kehadiran fisik dari si pelaku teror sekalipun ketakutan itu bisa saja muncul dalam diri si korban teror.
Kembali lagi ke 'Kami Tidak Takut', jelas kita tidak takut karena peristiwa Sarinah kemarin terasa absurd dan berjarak dengan keseharian kita. Peristiwa seperti itu tidak berada dalam wilayah imajinasi kita soal ketakutan. Kita lebih takut tidak dapat duit untuk beli beras hari ini. Kita lebih takut dengan biaya pendidikan yang semakin tinggi. Kita lebih takut sepeda motor kita yang bahkan sudah digembok bisa hilang. Kita lebih takut naik angkot malam-malam sendirian. Kita lebih takut ulah geng motor. Kita lebih takut guru atau dosen otoriter. Kita lebih takut urus surat ke kelurahan. Kita lebih takut tabung gas di rumah meledak. Kita lebih takut kebanjiran di musim penghujan. Kita lebih takut hasil panen harganya jatuh. Kita lebih takut dagangan kita dinjak-injak dan diangkut paksa Satpol PP atau kita lebih takut dengan 'orang-orang berseragam' yang tampangnya galak itu.
Kita lebih takut pada hal-hal yang lebih riil setiap hari meneror kita. Sarinah? Omong kosong, nonsense! Tidak percaya? Tanya Pak Jamal, si penjual sate.
*Praktisi Simbol & Meditasi
KOMENTAR ANDA