Ada kesalahan pemahaman terhadap aturan Pasal 158 UU No. 8/2015 tentang Pilkada yang dianggap membatasi pengajuan perselisihan hasil Pilkada ke Mahmakah Konstitusi (MK) hanya jika terdapat perbedaan paling besar 0,5 persen, 1 persen, 1,5 persen dan 2 persen sesuai dengan kategori jumlah penduduk daerah tersebut.
Demikian disampaikan Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Advokasi, Habiburokhman dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi, Minggu (27/12).
Menurutnya, ada empat alasan mengapa MK tetap bisa mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah selain masalah selisih perolehan suara.
Pertama, apa yang diatur Pasal 24C UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa MK berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
"Norma konstitusi yang sudah amat jelas tersebut tidak bisa dipersempit dengan penafsiran norma dalam UU termasuk UU Pilkada," ujar Habiburokhman.
Kedua, secara gramatikal aturan Pasal 158 tersebut tidak bersifat limitatif karena tidak ada kata "hanya" atau kata yang artinya batasan lainnya sebelum frasa "… jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen atau 1,5 persen atau 1 persen atau 0,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Propinsi/Kabupaten/Kota".
"Tanpa adanya batasan dalam Pasal 158 itu, maka permasalahan selain selisih perolehan suara dengan batasan 0,5 persen, 1 persen, 1,5 persen dan 2 persen tetap bisa diperiksa dan diputus oleh MK selama persoalan tersebut masih terkait hasil pemilihan. Diantara hal lain tersebut adalah fakta jika terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM).
Ketiga, secara historis doktrin TSM justru dilahirkan oleh MK sendiri. Meskipun UU yang mengatur telah berganti, tetap secara prinsip persoalan yang terjadi saat ini sama dengan persoalan ketika acuan pemeriksaan perkara di MK adalah UU No. 32/2004 tentang Pemda.
Jelas Habiburokhman, Pasal 106 UU No. 32/2004 sebenarnya juga tidak secara lugas menyebutkan kewenangan MK untuk memeriksa perkara jika terjadi kecurangan yang TSM. Akan tetapi fenomena begitu besarnya pengaruh kecurangan yang bersifat TSM di beberapa daerah seperti Kabupaten Kotawaringin Barat, Kota Surabaya, Kabupaten Sumbawa dan banyak daerah lain telah membuat MK berani membuat terobosan baru yaitu memeriksa dan memutuskan dan bahkan mengabulkan gugatan yang berbasiskan tuduhan kecurangan yang bersifat TSM.
"Kita tidak bisa menutup mata bahwa kecurangan bersifat terstruktur, sitematis dan massif kembali terjadi di banyak daerah dalam Pilkada serentak 2015, oleh karenanya pintu MK harus senantiasa terbuka untuk mengadili perkara-perkara tersebut," ungkapnya.
Keempat, secara prinsip MK adalah merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, tidak boleh menolak permohonan masyarakat untuk mencari keadilan. Terlebih jika keadilan yang diminta tersebut merupakan keadilan konstitusional.
"Jika untuk mencari keadilan konstitusional secara legal saja tidak diakomodir, kami khawatir masyarakat bisa melakukan langkah mereka sendiri diluar hukum untuk mencari keadilan," tukas Habiburokhman.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA