Peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 2 Desember harus menjadi momentum pemerintah berbenah memperhatikan kaum perempuan. Makna filosofis ibu begitu besar peranannya dalam kehidupan umat manusia, terutama dalam kaca mata Islam.
Begitu disampaikan Ketua Umum PP Fatayat Nahdlatul (NU) Anggia Ermarini. Menurut dia, Ibu merupakan madrasah (pendidikan) pertama. Oleh sebab itu, memuliakan dan mencitai Ibu merupakan spirit yang harus selalu dipelihara dan dilestarikan dalam momentum hari Ibu setiap tahunnya.
"Namun, betapa ironis nasib kaum Ibu di Indonesia. Sampai saat ini kualitas perempuan Indonesia masih memprihatinkan," katanya.
Pertama, sebut dia, masalah angka kematian ibu dalam melahirkan yang masih jauh dari harapan. Laporan survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 AKI mencapai 359/100.000 kelahiran bayi padahal target AKI seperti dalam MDGs tahun 2015 adalah 102/100.000.
Kedua, dari data Komnas Perempuan pada 2014 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 293.220 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2013 sebanyak 279.688 kasus.
Sedangkan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang didokumentasikan oleh Komnas Perempuan sepanjang 1998-2013 menunjukkan bahwa hampir seperempat dari 93.960 kasus adalah kasus kekerasan seksual.
"Hal ini berarti, ada 35 perempuan setiap harinya menjadi korban kekerasan seksual. Artinya, setiap 2 jam, ada tiga perempuan yang menjadi korban," tambah Anggia.
Selanjutnya, masalah pernikahan dini, hampir 50 % dari 2,5 juta pernikahan per tahun adalah kelompok usia di bawah 19 tahun. Angka tersebut berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara.
"Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030. Ini menyedihkan," sebutnya.
Karenanya, Fatayat NU sebagai ormas perempuan yang konsen terhadap upaya-upaya strategis memajukan kaum perempuan mendesak negara menjamin dan melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan.
Fatayat juga mendorong berbagai kebijakan nasional (RUU) yang pro perempuan untuk didesakkan menjadi prioritas program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2016.
"Salah satunya Fatayat NU mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk Prolegnas dan segera menjadi UU. Kita juga minta ketegasan pemerintah untuk segera menerbitkan PERPPU pemberatan hukuman atas kejahatan seksual pada anak dalam menangani persoalan anak secara cepat dan tepat," ujar Anggia.
Sekretaris Fatayat NU Margaret Aliyatul Maimunah menambahkan, pihaknyamendukung revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun. Yakni menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan yang diharapkan melindungi anak perempuan dari pernikahan dini.
"Sebab pernikahan usia dini dapat ”mencerabut” hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi perempuan dan berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah kependudukan," ujar dia.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA