Belum usai upaya buruh Indonesia memperjuangkan kebutuhan minimumnya, isu lain muncul yang semakin mendorong buruh jauh dari kesejahteraan.
Di samping isu PP 78 tahun 2015 yang masih menjadi polemik sampai saat ini, isu terkait pertimbangan kalangan pengusaha di Indonesia untuk mempekerjakan buruh asal China menyeruak bersamaan dengan dibukanya pintu gerbang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di penghujung tahun ini.
"Penyerbuan buruh Tiongkok ke Indonesia ini dimungkinkan seiring dengan permintaan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melalui pidatonya di KTT APEC di Beijing, 8-12 November 2015 agar negara-negara Asia Pasifik menanamkan modalnya di Indonesia," kata Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Padjadjaran Bandung Prima Vandayani, Sabtu (19/12).
Vandayani mengatakan, hal ini mendorong antusias Tiongkok untuk berinvestasi besar-besaran di Indonesia, mengingat Tiongkok sebagai negara yang menempati urutan pertama populasi terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 1,36 milliar jiwa atau tepatnya adalah 1.367.485.388 jiwa di Juli 2015.
Karena upah dan harga tanah naik, lanjutnya, serta keuntungan buruh Tiongkok yang murah berkurang, negara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam, muncul sebagai tujuan yang menarik untuk manufaktur Cina.
"Tampak di sini pemerintah Tiongkok berupaya untuk menyelamatkan tenaga kerja mereka dengan memberikan banyak peluang kerja di Indonesia. Tapi bagaimana bagi pemerintah Indonesia menyelamatkan anak bangsa sendiri yang masih banyak membutuhkan pekerjaan?," katanya.
Lebihlanjut dikatakannya, mayoritas investasi Tiongkok di Indonesia mengisyaratkan sepaket dengan tenaga kerjanya yang tidak hanya untuk level manajer (skilled-labor) namun juga level buruh kasar (unskilled-labor).
Menurut Vandayani hal ini menunjukkan terjadinya pelanggaran terhadap UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 43 bahwa Tenaga Kerja Asing (TKA) dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu.
Dia menambahkan, pada pasal 44 bahwa adanya TKA bertujuan untuk mentransfer ilmu kepada pendambingnya yakni warga negara Indonesia dengan waktu yang ditentukan. Tampak hal ini berlaku untuk level manajer (skilled -labor) bukan untuk level buruh kasar (unskilled-labor).
Meskipun begitu, kata Vandayani, keberadaan buruh kasar (unskill-labor) asal Tiongkok disambut terbuka bagi sejumlah pengusaha yang umumnya dilatarbelakangi anggapan bahwa buruh Tiongkok memiliki etos kerja yang tinggi, mampu bekerja lebih cepat, dan bersedia menerima upah di bawah upah minimum yang diperjuangkan buruh Indonesia.
"Teranyar buruh asal China di Surabaya bersedia dibayar dengan upah sebesar Rp. 2 juta/bulan padahal UMK Surabaya tahun 2016 sebesar Rp 3.045.000," tandasnya.[rgu]
KOMENTAR ANDA