post image
KOMENTAR
Presiden KSPI Said Iqbal membantah tudingan pihak yang tidak bertangung jawab atas gerakan mogok nasional kaum buruh Indonesia dalam menolak dan menuntut dicabutnya PP No 78 Tahun 2015 tentang pengupahaan.

"Sebagai orang yang terlibat secara langsung dalam mogok nasional yang dilakukan tanggal 24 hingga 27 Nopember 2015, saya ingin memberikan tanggapan terhadap tulisan ‘Generasi Marsinah’ di Kompasiana yang berjudul "Ini Loh Kenapa Mogok Nasional Jadi Melempem". Saya menduga, ‘Generasi Marsinah’ adalah akun yang dibuat atas inisiatif pengusaha hitam dan penguasa korup untuk memecah belah gerakan buruh yang dengan adanya PP 78/2015 semakin menyadari arti pentingnya persatuan," ujar Said melalui Sekretaris FSPMI Sumut Willy Agus Utomo kepada MedanBagus.Com, Jumat (4/12/2015).

Dia menjelaskan, tulisan itu ditulis dengan menggunakan nama samaran. Hal ini semakin jelas terlihat, tulisan itu tidak layak untuk dipercaya. Tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan hanya dimaksudkan untuk mengadu domba sesama kaum pekerja.

"Dalam mogok nasional, para pemimpin buruh seperti saya sendiri Said Iqbal, Andi Gani, Ilhamsyah, Nining Elitos, Subianto, Iwan Kusmawan, Mudhofir, Muhamad Rusdi, Oncom, Baris Silitonga, dan yang lain, terlibat secara aktif dalam perjuangan mogok nasional. Kami bersama-sama mengadakan pertemuan dan berdiskusi dalam merumuskan perlawanan terhadap kebijakan upah murah yang diwujudkan dalam PP 78/2015," ungkapnya.

Dikatakannya, kesalahan fatal ‘Generasi Marsinah’ adalah ketika menyebut dalam aksi tanggal 30 Oktober 2015 hanya ada Sekjen Muhamad Rusdi. Faktanya, ketika itu, hampir seluruh pemimpin serikat buruh bertahan. Selain Muhamad Rusdi (KSPI), seluruh pemimpin serikat buruh berada di tengah-tengah massa aksi hingga akhirnya polisi membubarkan paksa. Sebut saja, mereka, Ilhamsyah (Ketua Umum KP-KPBI), Mudhofir (Presiden KSBSI), Subianto (Sekjend KSPSI) Baris Silitonga (Pangkorda Garda Metal), Didi (DEN KSPI), dan sebagainya, termasuk Andi Gani (Presiden KSPSI).

"Mereka tetap berada di tengah-tengah kaum buruh yang sedang berjuang mencabut PP 78/2015. Pertanyaannya adalah, dimana ‘Generasi Marsinah’ saat itu berada?," tegasnya.

Bahkan, lanjutnya, setelah dibubarkan, nama-nama itu,  kemudian menuju Mapolda untuk melihat kondisi 25 buruh yang dibawa ke Mapolda. Ini mereka lakukan karena kecintaan dan tanggungjawabnya terhadap anggota. Bahkan, ke 25 buruh yang berada di Mopolda menyambut haru dan bangga ketika para pemimpinnya datang dan peduli kepada mereka, ketimbang orang yang mengaku-aku ‘Generasi Marsinah’ ini yang saya duga dibayar pengusaha hitam untuk mengadu domba persatuan buruh.

"Sekali lagi, dengan menyebutkan hanya ada Sekjen Muhamad Rusdi yang masih bertahan, sementara yang lainnya kabur entah kemana adalah kesalahan fatal. Bisa jadi, penulis tidak berada di lokasi ketika demo itu terjadi," ujarnya.

Satu hal yang harus diluruskan, lanjut Said Iqbal, Andi Gani sudah menjabat sebagai komisaris di salah satu BUMN jauh-jauh hari sebelum mogok nasional dilakukan. Sehingga tuduhan bahwa aksi ini digunakan sebagai bargaining untuk mendapatkan posisi di salah satu komisaris BUMN adalah ngawur dan tidak benar.

"Yang benar, Andi Gani diancam akan dicopot sebagai komisaris BUMN jika masih terus melakukan mogok nasional. Tetapi Andi Gani tetap memilih jalan bersama buruh dan orang kecil untuk melanjutkan keyakinan atas pilihannya untuk terus berjuang bersama-sama dengan kami. Sebaliknya, kami sangat menghormati dan terharu terhadap komitmen dan konsistensi Andi Gani yang berani mempertaruhkan “kenikmatan ini” demi sebuah keyakinan, keadilan, kebenaran, dan kecintaannya kepada kaum buruh dan orang-orang kecil," jelasnya.

Dia menyebutkan, sikap dan pendirian ini juga yang diperlihatkan oleh Nining Elitos, Muhamad Rusdi, Ilhamsyah (Boing), Subianto, Omcom, Yoyok Wardoyo, Edu, Iwan, Didi, Baris, Obon Tabroni, Yos, Tomas, Sunarti, Heri, Subianto, Mira Sumirat, Sabda, Feri, Fathoni, Jufni, Suparno B, Firmansyah serta saya sendiri beserta ribuan pemimpin buruh dari berbagai daerah dalam mogok nasional menyuarakan pencabutan PP 78/2015 yang merupakan kebijakan upah murah, tolak formula kenaikan upah sebesar inflansi + pdb yang tidak melibatkan serikat pekerja dalam perundingan upah minimum, memperjuangkan kenaikan upah tahun 2016 berkisar Rp. 500.000,00 serta menetapkan upah minimum sektoral lebih besar dari UMK.

"Disamping itu, kami juga mendesak agar dibentuk Pansus Anti Upah Murah oleh DPR RI. Tidak berhenti sampai disini, kami juga membuat sejuta pestisi buruh melawan upah buruh ke Presiden Jokowi. Serta meminta dihentikannya tindakan represif serta penangkapan oleh polisi terhadap kaum buruh yang sedang melakukan aksi. Pada akhirnya saya ingin menegaskan, tidak ada elit buruh yang menjadi penumpang gelap," tukasnya.[rgu]

LPM dan FKM USU Gelar Edukasi Kesahatan dan Pemberian Paket Covid 19

Sebelumnya

Akhyar: Pagi Tadi Satu Orang Meninggal Lagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel