Sudah sepantasnya pemerintah Indonesia tidak tergantung pada Freeport dalam mengeksplorasi kekayaan alam di Papua. Selain karena teknologi pertambangan seperti yang dimiliki Freeport juga dimiliki perusahaan multinasional lain, Freeport juga telah melakukan banyak wanprestasi semenjak Kontrak Karya tahun 1991 ditandatangani.
Hal-hal inilah yang menurut Jurubicara Komite Persiapan Liga Pemuda Indonesia (KP-LPI), Lamen Hendra Saputra dapat dijadikan dasar pertimbangan pemerintah untuk menghentikan kontrak karya Freeport pada tahun 2021 nanti.
"Pertama adalah tentang wanprestasi ekonomi. Freeport menjanjikan akan memberikan 51 persen saham kepada nasional pada tahun 2011, sesuai KK 1991, tapi sampai sekarang komposisi saham pemerintah Indonesia di Freeport hanya 9,36 persen. Sedangkan saham swasta nasional juga sebanyak 9,36 persen yang sempat dimiliki oleh Aburizal Bakrie, bos Setya Novanto, dijualnya kembali separuhnya kepada Freeport tahun 1992 dan dijual sisanya kepada Bob Hasan pada 1997 -yang kemudian dijual Bob Hasan kembali kepada Freeport tahun 2002," urai Lamen Hendra.
Royalti yang dikenakan terhadap produksi emas Freeport juga terlalu rendah, hanya 1 persen, dan sudah berlangsung terlalu lama sampai Juli 2014. Maka waka wajar bila Menko Maritim Rizal Ramli berpendapat, tingkat royalti harus segera dinaikkan antara 6 sampai persen untuk mengkompensasi ketidak adilan selama ini.
Freeport, sambungnya, juga tidak menjalankan kewajiban melakukan nilai tambah ekonomi, membangun smelter, tidak pernah konkret, padahal juga sudah diamanatkan di KK 1991.
Wanprestasi berikutnya adalah soal lingkungan.
Mengutip pendapat seorang ahli lingkungan hidup dari ITB, Lamen mengatakan, sejak ditetapkannya keputusan nomor 55/MENLH/12/1997 tentang AMDAL, RKL-RPL, Freeport telah menimbulkan berbagai pelanggaran dan sudah menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Namun, sepertinya Freeport selama ini kebal hukum, sehingga tidak adil bagi usaha pertambangan sejenis lainnya. Freeport juga selalu menghindar untuk menyatakan bahwa tailing-nya adalah limbah B3, sehingga tidak mau mengelolanya sesuai peraturan lingkungan yang berlaku. Akibatnya tailing meluncur sampai ke laut dan terjadi pendangkalan.
"Terakhir adalah tentang pelanggaran HAM. Terdapat banyak kesaksian penelitian yang menyatakan pada tahun 1977 telah terjadi pembantaian suku Amungme dan enam suku lainnya di sekitar Freeport, yang menewaskan 900 orang. Jumlah ini belum ditambahkan dengan rentetan pelanggaran HAM yang terjadi selama pelaksanaan DOM di Papua pada tahun 1978-1998 yang didukung oleh Freeport," demikian Lamen.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA