Skandal perekaman yang diduga suara Ketua DPR Setya Novanto menjadi bukti betapa beraninya Freeport mengadu-domba antar pejabat Indonesia.
Pejabat yang tertuduh patut mendapatkan hukuman yang setimpal tetapi Freeport juga harus mendapat hukuman berat.
Begitu disampaikan Sekjen Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Sya'roni dilansir RMOL.co (grup medanbagus) Jumat (20/11).
"Hukuman terberat yang harus diterima Freeport adalah penghentian kontrak karya di Indonesia," tegas dia.
Menurut Sya'roni harus ada keberanian Presiden Jokowi untuk tidak memperpanjang kontrak Freeport di Papua.
"Inilah momentum yang ditunggu-tunggu seluruh rakyat Indonesia. Apabila tidak dihentikan sekarang, bangsa Indonesia akan menanti lagi hingga 2041," katanya.
Sejak mulai pengerukan pada 1967, isu kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Freeport terus menjadi topik wacana. Mulai dari pengrusakan alam, pencemaran lingkungan, kekerasan terhadap penduduk dan eksploitasi alam yang sangat massif.
Dalam hemat Sya'roni, cukup dua kali kita menorehkan tanda tangan kerjasama dengan Freeport. Pertama pada tahun 1967, dimana saat itu kita membutuhkan suntikan investasi untuk menggerakkan pembangunan. Kedua pada 1991 ketika Indonesia dalam kepemimpinan yang sangat otoriter sehingga perpanjangan kontrak sarat dengan manipulasi dan korupsi.
"Rentang panjang dari 1967 hingga sekarang cukuplah menjadikan bangsa ini memiliki kemampuan untuk mengelola sendiri tambang emas Papua. Apalagi saat ini hampir semua karyawan Freeport adalah rakyat Indonesia, sehingga apabila dilakukan nasionalisasi dipastikan rakyat Indonesia sanggup mengelolanya sendiri," ujarnya.
Soal modal sambung Sya'roni, tidak perlu dipikirkan. Kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi Papua sudah cukup menjadi jaminan untuk menarik investor di seluruh dunia memberikan pinjaman.
"Menasionalisasi Freeport tidak hanya menghentikan praktik eksploitasi ekonomi, tetapi juga menegakkan kedaulatan di bumi pertiwi," tukasnya.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA