post image
KOMENTAR
SIKAP Belanda yang menutup mata atas penggelaran International People's Tribunal (IPT) di kota Den Haag, hanyalah salah satu cara dari sikap pemerintah negeri Kincir Angin itu yang mengekspresikan rasa dendam terhadap Indonesia.

Sesungguhnya ketidak sukaan pemerintah Belanda terhadap Indonesia, sudah berakumulasi. Tapi selama ini disembunyikan yang kemudian menjelma dalam sebuah bentuk - dendam kesumat.

Oleh sebab itu sikap pasif Belanda terhadap penggelaran IPT 1965, tidak bisa dianggap enteng. Tidak bisa hanya dilihat sebagai penghormatan negara itu atas demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Ada sisi lain yang belum disebut selama ini. Ada kemunafikan yang disembunyikan.

Sikap ini justru harus dicermati atau dikritisi Indonesia. Kalau kita - Indonesia mau dilihat sebagai bangsa yang bermartabat, seharusnya hubungan diplomatik kedua negara, gara-gara IPT 1965, diturunkan ke tingkat yang lebih rendah. Kalau tidak, ke depan, kata orang Belanda bakal "seenak dewe" kepada Indonesia.

Menterui Luar Negeri Retno Marsudi, jangan melunak hanya karena pernah bertugas sebagai Dubes RI untuk Belanda.

"Rigth or wrong is my country", mbak Retno.

Kita butuh Belanda sebagai negara sahabat. Tapi jangan juga sampai terjadi, dengan alasan kita butuh dia, lalu Belanda bisa berbuat seenaknya. Harus resiprokal, sama-sama saling jaga tenggang rasa.

Kalau dari sudut demokrasi dan hak kebebasan berpendapat, masuk akal jika dari sisi perspektif Belanda tidak ada pelanggaran hukum. Sehingga acara IPT 1965 tidak bisa dilarang oleh otoritas Belanda.

Tetapi penggelaran itu merupakan pelanggaran atas etika, "fatsoen" persahabatan dan tata krama hubungan antar bangsa. Pelanggaan etika bisa lebih berat dari pada pelanggaran atas UU. Karena etika menyangkut moral. Dan UU tak akan ada artinya, kalau tak ada muatan moralnya.

Belanda secara moral melakukan pembiaran atas penyelenggaraan IPT 1965. Pembiaran tersebut tidak sekedar sikap kemunafikan, tetapi juga sebuah pengkhianatan.

Belanda tidak akan ditempatkan sebagai pengkhianat, apabila selama ini Indonesia sebagai bekas jajahannya, juga terus mengobarkan semangat anti-Belanda. Justru Indonesia selama ini, bersikap baik dan bersahabat. Ada soal kecil yang selalu dipelihara Indonesia. Misalnya menjadikan kota Amsterdam sebagai bandara tujuan utama Garuda ketimbang kota lain.

Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Namun generasi Indonesia baik yang lahir di ujung penjajahan maupun pasca penjajahan, tidak pernah menaruh dendam kepada penjajah. Bahkan hukum dan perundang-undangan Belanda termasuk cara menghormati sahabat, banyak yang diadopsi oleh Indonesia. Contoh ini semakin memperkuat bukti - Indonesia bukanlah bangsa pendendam.

Pemerintah Indonesia mulai dari rezim Soeharto hingga pemerintahan Joko Widodo tidak pernah memberikan panggung kepada siapapun untuk mengungkit masa lalu Belanda di Indonesia.

Secara de jure dan de facto Indonesia menjadi sebuah negara merdeka - bebas dari penjajahan Jepang pada 17 Agustus 1945. Dunia internasional dan PBB pun mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia tersebut. Namun hanya Belanda, yang tidak mengakui kemerdekaan dan kedaulatan RI tersebut. Belanda menjadi satu-satunya bekas penjajah yang memperlambat pengakuannya (1949) atas kemerdekaan Indonesia.

Pertanyaannya, apakah tindakan itu dapat dikategorikan sebagai sikap yang jujur mau bersahabat?

Semestinya semua wilayah Indonesia yang menjadi jajahan Belanda, otomatis diserahkan kepada Indonesia. Tapi apa yang terjadi, tidak semua wilayah bekas jajahan dikembalikan kepada Indonesia.

Pulau Irian Barat (Irian Jaya, Papua) terus dipertahankan. Irian Barat baru bisa lepas dari genggaman Belanda, setelah Indonesia dibantu oleh masyarakat internasional - PBB. Lewat UNTEA (United Nation Temporary Authority) digelarlah apa yang disebut penentuan pendapat sendiri oleh masyarakat Irian. Yang hasilnya Irian Barat dikembalikan Belanda kepada Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana mengartikan sikap Belanda yang baru melepas Irian Barat setelah adanya tekanan internasional?

Selama menjajah Indonesia, Belanda dikenal menerapkan politik pecah belah atau "devide et impera". Salah satunya dengan menjanjikan kepada masyarakat Maluku Selatan untuk menjadi sebuah negara merdeka.

Hasilnya hingga Belanda angkat kaki dari Indonesia, Republik Maluku Selatan (RMS) itu, tak terealisasi.

Sebagai kompensasinya, pemimpin dan sejumlah pengikut RMS diberi perlindungan politik. Diberi status warga negara Belanda. Para pentolan RMS itupun menetap di Belanda dan terus mengobarkan semangat anti-Indonesia. Artinya Belanda memelihara dan melindungi warga yang anti-Indonesia.

Di 1970-an akhir, RMS pernah mempersulit Indonesia. Mereka menyerang Kedubes RI Belanda yang dikenal dengan peristiwa "Wasenaar".

Peristiwa itu sebetulnya sudah cukup memperlihatkan bagaimana dampak negatif pemberian status warga negara Belanda kepada kelompok yang menamakan diri RMS.

Selain menampung RMS, selama 40 tahun Belanda juga memberikan perlindungan politik kepada pelarian OPM (Organisasi Papua Merdeka), Nicolaas Jouwe.

Kemudian di akhir 1970-an kepada musikus asal Papua yang dikenal dengan nama "The Black Brothers". Pemberian suaka politik terkesan dipaksakan. Sebab pada saat itu "The Black Brothers" tidak berada dalam posisi yang dipersulit pemerintah Indonesia. Sekalipun rezim Orde Baru pada era itu dijuluki pemerintahan militeristik dan otoriter, tetapi rezim tidak memusuhi mereka. Kelahiran "The Black Brothers" justru mendapat sambutan yang cukup luas. Bukan hanya dari masyarakat blantika musik Indonesia tetapi dari elit penguasa. Kaset-kaset rekaman "The Black Brothers" , tak satupun yang dilarang. Kelompok band rock pop itu mendapatkan liputan dari media pemerintah TVRI. Larangan pentas, tidak pernah terjadi.

Mungkin banyak yang sudah lupa atas pemberian suaka politik Belanda kepada "The Black Brothers". Aneh. Mereka - "The Black Brothers" tiba-tiba saja sudah berada Belanda, terbang langsung dari Irian Barat (Irian Jaya, Papua).

Pertanyaannya, apa motivasi pemerintah Belanda memberikan "one way ticket" Irian Jaya - Amsterdam kepada para musikus tersebut?

Belakangan baru terungkap bahwa Belanda menjadi tempat berlindung paling banyak oleh eks mahasiswa Indonesia yang tidak bisa pulang ke tanah air. Mereka rata-rata dituduh anggota PKI sebab pernah belajar di negara-negara Eropa Timur, wilayah yang di era Perang Dingin merupakan kantong komunisme.

Dari sisi kemanusiaan atas pencekalan para eks mahasiswa itu, pemerintah Indonesia bisa disalahkan atau bahkan berhutang budi pada Belanda.

Tetapi bukan itu persoalannya. Bantuan Belanda terhadap eks WNI itu tidak bisa dilihat secara kemanusiaan belaka. Tetapi perlu dilihat secara politik dan subyektif.

Manakala bantuan kemanusiaan itu menguntungkan Indonesia, Belanda akan menyembunyikannya. Tetapi manakala merugikan Indonesia, itulah saatnya Belanda memperlihatkannya kepada dunia.

Dalam kasus IPT 1965, kehadiran para eks mahasiswa Eropa Timur itu menjadi faktor penguat. Kehadiran mereka dianggap fakta obyektif untuk menilai perlunya penggelaran IPT 1965.

Dari kejadian ini semakin terlihat Belanda memang punya agenda ganda. Kali ini agendanya melampiaskan dendamnya kepada Indonesia dengan menggunakan tangan para eks mahasiswa Eropa Timur.

Pada 1990-an awal, pemerintah Indonesia menghentikan kerja sama internasional yang digagas IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia). Konsorsium internasional itu selama hampir tiga dekade mengatur pemberian bantuan luar negeri bagi Indonesia.

Keputusan penghentian kerja sama diambil Presiden Soeharto karena merasa tersinggung oleh sikap Menteri Pembangunan Belanda, Jan Pronk yang mengetuai konsorsium tersebut.

Soeharto tersinggung, karena setiap kali menjelang penyelenggaraan sidang tahunan IGGI di Belanda, Pronk lebih dulu melakukan inspeksi ke berbagai proyek di Indonesia yang akan didanai IGGI. Terakhir soal daerah kumuh di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Gaya Pronk yang seolah-olah dialah sebetulnya yang menjadi Gubernur DKI Jakarta, Menteri PU atau bahkan Presiden RI, itulah yang menjadi pemicu kemarahan atau ketersinggungan Presiden Soeharto.

Bagi siapapun orang Indonesia yang menyaksikan foto dan video Jan Pronk yang bercekak pinggang sambil memberi perintah - tak peduli itu warga yang tidak suka dengan Presiden Soeharto, tetap bersetuju dengan tindakan Soeharto.

Pasalnya apa yang diperlihatkan Pronk, memberi kesan kuat bahwa mental penjajahnya masih sangat kuat melekat. Pronk merepresentasi watak penjajah.

Peristiwa yang terjadi hampir seperempat abad lalu itu, sempat mengganggu hubungan bilateral. Belanda berusaha minta maaf. Semenjak itu, Belanda sangat berhati-hati kepada Indonesia, terutama dengan Presiden Soeharto.

Hubungan kedua negara perlahan membaik setelah Soeharto lengser dari kekuasaan di tahun 1998. Setelah Soeharto meninggal, persoalan ketersinggunga itu akhirnya terkubur. Pelan tetapi pasti luka yang ditimbulkan oleh pembubaran IGGI itu, pemecatan Soeharto terhadap Pronk dari konsorsium itu, tenggelam dan dilupakan.

Luka itu kembali menganga ketika IPT 1965 digelar minggu lalu di Den Haag. Menganga, terutama karena yang mau dituju atau disasar oleh hasil persidangan IPT 1965 adalah Soeharto dan pemerintah Indonesia.

Boleh jadi tidak semua orang Indonesia suka terhadap rekam jejak Soeharto. Tapi apapun alasannya, Soeharto berikut semua Presiden RI merupakan simbol. Simbol ini yang disentuh Belanda dengan memberi panggung politik kepada Todung Mulya Lubis dan kawan-kawan. Panggung politik, tetapi dikemas dengan bungkusan kemanusiaan.

Selain itu, Todung dkk mempresentasikan sikapnya yang ambigiu dan membingungkan. Katanya mau membela Indonesia, tetapi caranya justru memperolok-olok pemerintah Indonesia.

Muncul protes terhadap Todung Mulya Lubis dan kawan-kawan, sebagaimana yang dicerminkan dalam tulisan awal.

Mengapa? Karena ada kecurigaan dan kekhawatiran telah terjadi konspirasi buruk di antara para pihak. Kepentingan para pihak mungkin tidak sama. Tetapi yang sama-sama ditentang adalah agenda yang mempersoalkan, menyalahkan atau mengoreski rezim Soeharto melalui IPT 1965.

Panggung ini dikoreksi karena terkesan mengada-ada dan terlalu dipaksakan.

Todung Mulya Lubis dan kawan-kawan memaksa sementara Belanda yang menyimpan dendam terhadap Indonesia, mengada-ada.[***]

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini