MBC. Berbagai peraturan di daerah terkait dengan dunia usaha, khususnya pajak daerah perlu mendapat perhatian untuk diselaraskan dengan UU agar tidak tumpang tindih atau bertentangan satu sama lainnya.
Menurut pengamat dan praktisi hukum Humphrey R. Djemat, ada banyak calon investor asing yang menjadi ragu untuk menginvestasikan dananya di Indonesia setelah melihat adanya pertentangan antara peraturan perpajakan di daerah dengan UU yang berlaku secara nasional.
Sebagai contoh, kata dia, penerapan pajak air permukaan. Dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah telah diatur tarif pajak air permukaan maksimum sebesar 10 persen, namun di suatu daerah ternyata ditemukan penetapan tarif pajak air permukaan yang lebih besar dari ketentuan.
Humphrey melanjutkan, peraturan tarif pajak yang melebihi ketentuan UU tersebut bahkan hanya diatur dalam bentuk Peraturan Gubernur, padahal berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UU 28/2009 seharusnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Menurut Humphrey, ada kesalahpahaman yang mana seakan-akan peraturan yang diterbitkan oleh gubernur merupakan Perda, padahal keduanya merupakan produk hukum berbeda.
Humphrey menambahkan, Pergub yang bertentangan dengan hukum (UU) dapat dibatalkan melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung, karena sesuai dengan asas hukum lex superiori derogate lege inferiori, aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Dihubungi secara terpisah, praktisi hukum perpajakan Darneliwita menyatakan, apabila ada masyarakat yang merasa dirugikan terkait dengan penetapan hutang pajak yang didasarkan pada Pergub, maka masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap penetapan hutang pajak tersebut kepada Pemda.
Apabila keberatan tersebut ditolak, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Bahkan, apabila nantinya Pengadilan Pajak menolak banding tersebut, masyarakat masih dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali ke MA.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA