Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya tengah menghadapi dua jenis fundamentalisme yang sejatinya sangat berbahaya. Kedua fundamentalisme inilah yang membuat perdamaian di muka bumi hilang digantikan kebencian dan peperangan.
"Fundamentalisme jenis pertama sifatnya kasat mata dan dapat dengan mudah dikenali. Inilah yang disebut sebagai fundamentalisme sektarian, yang menggunakan identitas dan apa yang diyakini benar, juga agama, sebagai slogan perjuangan dan perlawanan. Bahkan menggunakan kebencian dan kemarahan. Ada juga yang menggunakan tema kesukuan, agama, ras, dan yang paling kecil tema golongan," ujar Teguh Santosa dari Forum Indonesia 2050, Minggu (15/11).
Fundamentalisme jenis pertama ini, kata Teguh, dengan mudah menciptakan identitas, menarik demarkasi antara "aku" dan "kamu", "kita" dan "mereka".
Fundamentalisme jenis kedua sifatnya tidak kasat mata dan sulit dikenali. Disebut sebagai fundamentalisme pasar, keyakinan bahwa pasar adalah di atas segalanya, aktor yang menentukan mana yang baik untuk rakyat dan negara.
Fundamentalisme pasar, dalam hemat Teguh, percaya bahwa setiap individu punya hak kebebasan yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi. Pada praktiknya, paham kebebasan atau liberalisasi ini menjelma menjadi neoliberalisasi dimana pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang bisa mendikte mayoritas orang atau kelompok lain.
"Pada gilirannya, kebebasan yang tadinya dipercaya sebagai berkah dan instrumen untuk memerdekakan individu menjelma menjadi instrumen bagi individu tertentu untuk menguasai tema-tema besar politik dan ekonomi," imbuhnya.
Fundamentalisme pasar, masih kata Teguh, melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru dan memicu kemarahan, kebencian, memberikan alasan bagi kelahiran fundamentalisme sektarian.
"Kita berduka atas apa yang terjadi di Paris pada Jumat malam lalu. Kengerian yang tak terbayangkan sebelumnya. Horor yang telah terjadi sejak beberapa waktu lalu di banyak tempat di muka bumi. Kita berduka, tetapi duka saja tidak cukup," katanya.
Menurut Teguh, Indonesia menghadapi dua jenis fundamentalisme ini, dan sejatinya kita harus melakukan pekerjaan yang jauh lebih besar dari sekadar berduka. Kita harus berani mengatakan tidak pada kedua jenis fundamentalisme ini.
"Kita harus berani mengatakan: Indonesia tercinta ini milik semua. Indonesia tanpa penindasan, tanpa ketimpangan, tanpa ketidakadilan, tanpa kebencian. Indonesia tempat anak dan cucu kita hidup di masa depan sampai akhir zaman," seru Teguh.[hta]
KOMENTAR ANDA