Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus 1965-1966 yang digelar di Den Haag, Belanda, harus dilihat dengan cara pandang yang lebih positif dan berorientasi rekonsiliasi nasional.
Menjadikan rekonsiliasi nasional sebagai tema utama diyakini dapat mengakhiri perdebatan berpuluh tahun atas rangkaian peristiwa pada kurun itu yang meninggalkan luka hingga kini.
Demikian pendapat mantan Staf Khusus Presiden (SKP) Andi Arief kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu pagi (14/11).
Menurut Andi Arief, rekonsiliasi nasional dapat ditempuh dengan menggunakan dua jalan utama. Pertama dengan melibatkan masyarakat dalam diskursus di ruang publik. Kedua dengan menggunakan kekuasaan negara.
Rekonsiliasi nasional melalui jalan kedua kerap terlihat rumit dan berbelit. Walaupun sebenarnya jauh lebih efektif mengingat negara dapat mengakomodasi hampir atau bahkan semua tuntutan yang timbul dari persoalan di masa lalu.
Sementara "pengadilan rakyat" hanya bersifat parsial dan tematik sehingga membutuhkan banyak ruang pengadilan untuk membicarakan semua aspirasi yang berkembang terkait peristiwa yang diperdebatkan.
"Belanda saja yang ditunggu meminta maaf tidak berdaya saat korban Westerling dan Rawagede memenangkan pengadilan rakyat," ujarnya memberi contoh.
Bagaimana pun juga, sambungnya, peristiwa 1965 dan kejahatan HAM lainnya memang fakta yang tidak mungkin bisa ditutupi. Karena itu harus ada pertanggungjawaban agar sejarah tidak berjalan dengan beban berat.
"Ini episode positif untuk rekonsliasi di Indonesia. Tidak mungkin akan menghasilkan perpecahan bangsa, karena putusan pengadilan rakyat itu antara rakyat dengan negara di masa lalu. Bukan rakyat dengan rakyat," demikian Andi Arief. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA