Mahkamah Konstitusi dinilai kembali menghadirkan akrobat hukum dan politik dengan penerbitan Peraturan MK (PMK) Nomor 4/2015, regulasi yang mengatur apabila pasangan tunggal kepala daerah meraih lebih banyak suara dari pemilih yang menyatakan tidak setuju maka pemilih yang tidak setuju dapat mengajukan gugatan sengketa hasil pilkada melalui pemantau pemilu.
"Saya tidak habis pikir apa rasio logisnya. Aturan ini tidak hanya aneh tapi sakit jiwa, dan pembuatnya mengalami kegagalan berpikir kronis," kata anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan kepada wartawan, Senin (9/11).
Menurutnya, aturan tersebut sarat dengan muatan politis. Sehingga wajar jika banyak pihak curiga MK ditunggangi atau menunggangi proses politik yang berlangsung dalam Pilkada serentak 2015.
Dia pun mempertanyakan keberadaan pemantau di tiga daerah dengan calon tunggal yakni Kabupaten Blitar, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
"Bagaimana kalau tidak ada pemantau, mau dibuka lagi. Siapa yang jadi pemantau, bagaimana kualitas, kapasitasnya. Kok bisanya mereka yang tidak jelas ini diberikan kualifikasi dan legal standing sebagai pemohon yang mewakili pemilih yang tidak setuju," ujar Arteria.
Arteria juga mencermati adanya penggiringan opini dengan memberikan posisi hukum bagi pemantau pilkada seolah dapat dan berhak untuk mewakili pemilih yang tidak setuju. Menurutnya, MK seharusnya sadar bahwa ruang gugatan bukan untuk pemilih, melainkan oleh pasangan calon yang punya kualifikasi.
"Jadi tidak hanya legal standingnya ada, pasangan calon tersebut juga harus bisa meyakinkan MK bahwa apabila hasil pilkadanya benar, pasangan tersebutlah yang seharusnya ditetapkan sebagai pemenang," jelas politisi PDI Perjuangan tersebut.
Sebelumnya, MK menetapkan pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon dalam mengajukan gugatan hasil Pilkada serentak 2015 bagi pasangan tunggal lewat PMK Nomor 4/2015. Yang diperbolehkan mengajukan permohonan dalam sengketa adalah kandidat pasangan tunggal yang tidak setuju atas keputusan pemilih berdasarkan pelaksanaan pemungutan suara lewat referendum.
Keputusan bagi kandidat tunggal itu dilakukan melalui pengisian surat suara yang diisi pemilih, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam mekanisme referendum apabila pilihan 'setuju' memperoleh suara terbanyak maka pasangan tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah, namun jika pilihan 'tidak setuju yang lebih banyak maka pelaksanaan pilkada ditunda sampai waktu berikutnya. Setelah mekanisme itu dijalankan dan misalnya kandidat calon tunggal tidak setuju dengan keputusan akhir maka dapat menjadi pemohon pengajuan gugatan sengketa ke MK.
Selain kandidat tunggal, pemantau pemilu juga diizinkan menggugat keputusan pilkada apabila ada hal-hal yang dirasa tidak sesuai dengan kemenangan pasangan tunggal. Misalnya dari sisi peraturan perundangan yang menjadikan keputusan dianggap ada masalah maka pemantau pemilu dapat mengajukan gugatan. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA