Di era keterbukaan dan demokrasi saat ini, ada semacam anomali yang belakangan menjadi perbincangan. Yaitu soal kegaduhahan. Tiba-tiba "gaduh" menjadi diksi yang cukup negatif, dan dipakai untuk menyudutkan.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Segitiga Institute, Muhammad Sukron. Menurut Sukron, hal ini cukup aneh sebab Indonesia bukan lagi bawah kendali otoritarianisme. Di bawah rezim otoriter model Orde Baru, yang menjadikan stabilitas sebagai kunci, mungkin kegaduhan bisa dipersoalkan, bahkan dipenjarakan.
"Tapi ini era demokrasi. Demokrasi memang tidak identik dengan kagaduhan, namun demokrasi memberi jalan setiap orang untuk bicara dan bertindak di ruang publik secara bertanggungjawab," kata Muhamamd Sukron kepada Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Kamis, 5/11).
Hal yang lebih ironis, lanjut Sukron, ketika ada pejabat publik membuat gebrakan untuk membuat Indonesia lebih baik, ada kelompok status quo yang selama ini menikmati fasilitas dan akses kuasa yang kadang-kadang didapat dengan cara koruptif, kolutif dan nepotistik yang menggunakan diksi "kegaduhan" untuk menyudutkan sang pejabat.
"Contoh Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Gebrakan-gebrakan dia ini bukan kegaduhan, tapi terobosan untuk kesejahteraan rakyat. Tentu mengguncang status quo yang selama ini dimanjakan kekuasaan," kata Sukron.
Bila tetap mau dipaksakan, Sukron membedakan ada dua jenis kegaduhan. Kegaduhan pertama adalah kegaduhan substansial. Inilah kegaduhan yang dibutuhkan publik, dan juga menjadikan pemerintahan terlihat jelas berpihak pada masyarakat yang selama ini tak menikmati hasil pembangunan.
"Kegaduhan model ini sangat dibutuhkan publik, dan bahkan membuat pemerintah kian berwibawa," ungkap Sukron.
Kegaduhan jenis kedua, lanjut Sukron, adalah kegaduhan yang dilakukan para pejabat yang selama ini tidak berpihak pada rakyat. Kelompok inilah yang ketika mau dijamah oleh penegak hukum misalnya, lalu menuduh penegak hukum juga bikin gaduh.
"Padahal kegaduhan ini bermula dari dirinya. Mereka adalah pejabat yang terus KKN dan merugikan rakyat, membela kepentingan asing, dan hanya mengurus kepentingan diri dan kelompoknya," demikian Sukron. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA