Guna menyelamatkan ekosistem pesisir pantai, perempuan nelayan di Kabupaten Langkat menanam 10.000 bibit mangrove.
Penanaman mangrove ini dilakukan di Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Kamis (8/10).
Aksi ini sebagai bentuk kepedulian dan melestariakan mangrove masyarakat
pesisir di Langkat bersama dengan Persaudaraan Perempuan Nelayan
Indonesia (PPNI) Kabupaten Langkat, Dompet Dhuafa, dan Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Hadir pada acara itu, Bupati Langkat yang di wakili staff ahli Amir
Hamzah, Presiden Direktur Dompet Dhuafa Ahmad Juwaini, jararan Pemda
Kabupaten Langkat, Kadis Perikanan dan Kelautan Sumut joni Waldi, Dan
Yon 08, Dandim 0203, Kapolsek Brandan Barat, perwakilan Matahari Dept.
Store Johnsen Hutabarat, Branch Manager Dompet Dhuafa Waspada Hambali,
Sekjen Kiara Abdul Halim, Sekjen PPNI Jumiati dan Para Nelayan.
Bupati Langkat melalu staff ahlinya Amir Hamzah mengucapkan terima kasih
dengan diselenggarakannya kegiatan 1000 menanam bibit Mangrove.
Ini dilakukan untuk kembali melaestarikan alam mangrove dikarenakan besarnya manfaat bagi kehidupan masyarakat pesisir.
"Kita berharap kegiatan ini di ikuti oleh selurh elemen masyarakat
untuk mengambalikan fungsi hutan mangrove yang sempat rusak," jelasnya.
Koordinator Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Kabupaten
Langkat, Ratna mengatakan, sejak tahun 2006 hutan mangrove seluas
16.466 hektar di DAS Tanjung Balai dan Sei Babalan, Kecamatan Brandan
Barat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara dialihfungsikan
menjadi perkebunan sawit.
Akibat alih fungsi hutan mangrove, katanya, kondisi lahan menjadi
rusak, mata pencaharian nelayan enam desa, yaitu Desa Perlis, Kelantan,
Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur dua, Kelurahan Brandan Barat dan
Kelurahan Sei Billah pun menurun drastis.
"Dulu masyarakat di sini bisa menghasilkan 50-60 liter madu dari kawasan
mangrove. Kini tidak ada lagi madu yang dihasilkan. Selain itu,
nelayan berkurang terus penghasilannya. Sewaktu paluh masih ditutup,
nelayan hanya dapat uang Rp 20.000 per hari," ujarnya.
Penutupan 30 lebih paluh atau anak sungai (paluh Burung Lembu, Terusan
Habalan, Napal dan Tanggung) dengan diameter 3-4 meter membuat
nelayan-nelayan bubu, ambai, belat, dan jaring harus beralih profesi
menjadi tukang ojek, buruh atau TKI.
"Kami melihat masyarakat, khususnya perempuan nelayan, bersemangat
mengembalikan fungsi mangrove dan kesejahteraannya. Mangrove merupakan
harapan terbaik untuk permasalahan perubahan lingkungan," ungkapnya.
Ahmad Juwaini, Presiden Direktur Dompet Dhuafa mengungkapkan,
Dompet Dhuafa hadir sebagai lembaga pendukung rehabilitasi penanaman
mangrove telah dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Langkat
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.
"Dompet Dhuafa mengajak masyarakat luas untuk mengembalikan fungsi hutan mangrove seperti sediakala," tambah Ahmad.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menilai, gerakan ini merupakan
salah satu bentuk kepedulian dari masyarakat pesisir untuk mengembalikan
fungsi hutan mangrove agar kehidupan mereka kembali tenteram dan
sejahtera.
"Inisiatif ini menjawab tantangan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir,
yakni konversi lahan menjadi perkebunan sawit. Karena mangrove
memberikan kehidupan bagi banyak orang. Untuk itulah, gerakan
penyelamatan 'mangrove untuk kehidupan' ini harus didukung sepenuhnya
oleh Pemerintah Kabupaten Langkat dan Pemprov Sumatera Utara,"
pungkasnya.[rgu]
KOMENTAR ANDA