Dosen Sastra Indonesia FKIP UMSU, Yulhasni mengaku sangat menyayangkan tida berkembangnya sastra Indonesia yang dikelola dengan menggunakan media internet atau lazim disebut Cyber Sastra. Padahal media internet menurutnya menjadi media yang paling tepat untuk terus menggaungkan hegemoni sastra dan perkembangannya di Indonesia.
Demikian disampaikannya dalam Seminar Internasional ‘’Perkembangan Cyber Sastra Malaysia-Indonesia’’ di Aula UMSU, Sabtu (19/9). Seminar ini juga diisi oleh Presiden Persatuan Aktivis E Sastra Malaysia, Prof Dr Irwan Abu Bakar.
Dalam makalahnya berjudul Cyber Sastra: Perlawanan terhadap Hegemoni dalam Sastra Indonesia, Yulhasni mengatakan gerakan cyber sastra atau karya sastra yang terbit di internet, sebenarnya telah lama muncul di kurun waktu 90-an namun kemudian di tahun 2001 kembali mencuat setelah terbitnya buku Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001. Graffiti Gratitude merupakan buku antalogi puisi cyber. Penerbitan antalogi tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).
"Diluar media konvensional cetak, internet menghadirkan cara distribusi baru. Pada tahun 90-an muncul laman Cybersastra yang cukup aktif menerbitkan karya maupun kritik. sayangnya laman ini sudah tidak aktif lagi. Posisi laman ini dilanjutkan oleh laman Mediasastra yang, sayangnya, tidak terlalu aktif dalam menerbitkan kritik. Banyak pula penulis pemula yang menulis ulasan, apresiasi, maupun kritik dalam blog pribadi. Belakangan muncul pula grup-grup di sosial media yang khususkan dalam mendiskusikan sastra koran (di Facebook misalnya, ada grup sastra koran minggu yang mengumpulkan cerpen, puisi, dan esai yang dimuat dalam koran minggu)," kata Dosen Sastra Indonesia FKIP UMSU ini.
Menurut Yulhasni, media internet sebenarnya menawarkan kemajuan dalam kritik sastra; ia lebih mudah diakses, tidak terbatas dalam panjang tulisan, memungkinkan lebih banyak kritikus yang muncul, serta memungkinkan diskusi yang lebih intens.
"Namun, pada nyatanya, tulisan di internet belum punya otoritas sebagaimana cetak. Banyak kritik sastra dalam laman blog pribadi memiliki masalah dalam hal penulisan dan penyuntingan; dari susunan kalimat yang berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, argumentasi yang tidak runtut, kurangnya perspektif kritis, atau bahkan tidak punya ide tulisan sama sekali," demikian Yulhasni.[rgu]
KOMENTAR ANDA