Ruang sastra di Indonesia semakin sempit karena sebagian besar media massa sudah menghapus rubrik untuk karya-karya sastra. Sementara dalam pendidikan formal, sastra juga hanya menjadi 'cantelan' pada mata pelajaran dan tidak mendapat porsi yang besar.
Atas kondisi ini, satu-satunya media untuk mengembangkan sastra yakni dengan memanfaatkan teknologi digital dan sastra siber. Dengan saran inilah karya-karya sastra bisa dipasarkan dan dinikmati oleh pecinta sastra di seluruh dunia.
Perkembangan sastra siber (sastra digital/elektronik sastra) menjadi thema seminar Internasional Sastra Indonesia - Malaysia yang akan diselenggarakan Sabtu (19/9) di UMSU Medan.
"Thema ini diangkat karena masih sedikit informasi mengenai sastra siber. Padahal ruang ini potensi untuk memberi kesempatan kepada seniman -- baik pemula maupun senior untuk
menampilkan karya-karyanya," kata Pimpinan E Manajemen Management Enterprise Yo Sugianto dalam temu pers di Taman Budaya Sumatera Utara, Kamis (17/9).
Seminar yang menghadirkan Prof Dr Irwan Abu Bakar (Presiden Persatuan Aktivis E Sastra Malaysia) dan Yulhasni (Sastrawan Sumut) akan mengulas memgenai perkembangan E Sastra di
kedua negara Indonesia dan Malaysia. Seminar ini menjadi media untuk berbagai informasi dan pengalaman mengenai perkembangan E Sastra di kedua negara.
"Perkembangan E Sastra di Malaysia sungguh pesat. Kita memanfaatkan acara ini menjadi media untuk saling bertukar informasi mengenai strategi mendudukan sastra pada posisi yang
terhormat. Malaysia sudah mengangkat Sastrawan Negara. Bagaimana Indonesia?" katanya.
Kegiatan ini merupakan rangkaian dari kunjungan sastrawan Malaysia ke Indonesia. Kunjungan ini seniman dari negara sahabat ini diharapkan tidak sekedar kunjungan wisata, akan tetapi
kunjungan budaya, sehingga seniman dapat menyerap berbagai informasi kebudayaan dan sastra di Indonesia, khususnya Sumatera Utara.
"Kita berharap, antara seminar dan kunjungan ke daerah wisata ke Danau Toba ada 'benang merah'. Apa yang terungkap dalam seminar dan apa yang mereka dapat saat kunjungan wisata
menjadi bahan mereka untuk mengenalkan kekayaan Indonesia, juga tentang kekayaan sastra di Indonesia," katanya.
Sementara, Teja Purnama selaku panitia di Sumut mengatakan kualitas seniman Indonesia tidak kalah dengan Malaysia. Namun disayangkan, penggarapan dan marketingnya kalah. "Seminar
ini, kita berbagi bagaimana cara seninan Malaysia 'menjual' karyanya," katanya.
Tidak hanya itu, kegiatan ini juga menjadi otokritik bagi pemerintah, yang tidak memberikan perhatian kepada seniman dan karyanya.[rgu]
KOMENTAR ANDA