Jurnalis Indonesia diharapkan membantu proses penyatuan secara damai Korea Selatan dan Korea Utara yang terpisah sejak 1945. Dibutuhkan pemberitaan yang positif dan faktual mengenai situasi di Semenanjung Korea agar unifikasi ataupun reunifikasi kedua Korea dapat terjadi.
Demikian disampaikan Ketua Umum Asosial Jurnalis Korea (AJK) Park Chong-ryul dalam jamuan makan malam menyambut delegasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Hotel Presiden, Seoul, Korea Selatan (Senin malam, 7/9).
"Jurnalis Indonesia harus membantu unifikasi Korea secara damai. Sampaikan pesan-pesan perdamaian," ujar Park.
"Sejak Korea terbelah menjadi dua, ratusan ribu keluarga hidup terpisah. Kini mereka sudah semakin tua. Menyaksikan Korea kembali bersatu adalah cita-cita mereka," ujarnya lagi.
Secara khusus Park menyampaikan harapannya kepada Ketua bidang Luar Negeri PWI Teguh Santosa yang ikut dalam kunjungan itu. Selain bekerja sebagai jurnalis, Teguh juga mengajar pada jurusan hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Teguh telah beberapa kali berkunjung ke Korea Utara dan Korea Selatan untuk mempelajari sentimen masyarakat di kedua negara terhadap isu penyatuan Korea.
Bulan Agustus lalu, misalnya, Teguh mengunjungi Korea Utara untuk menyaksikan langsung peringatan 70 tahun Hari Pembebasan Korea pada tanggal 15 Agustus. Selain itu Teguh juga menghadiri konferesi reunfikasi damai yang diselenggarakan Komite Reunifikasi Damai Semenanjung Korea untuk Kawasan Asia Pasifik.
Delegasi PWI berkunjung ke Seoul dalam rangka program kerjasama kedua asosiasi jurnalis. Dalam kunjungan ke Seoul kali ini delegasi PWI dipimpin Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Wina Armada Sukardi. Selain Teguh Santosa, anggota delegasi lainnya adalah Ketua PWI Lampung Supriyadi Alfian, Ketua PWI Kalimantan Selatan Faturrahman, dan Sekretaris PWI Jawa Barat Uyun Achdiat.
Dalam jamuan makan malam, kedua asosiasi membicarakan sejumlah isu termasuk situasi terakhir Semenanjung Korea yang sempat memburuk akibat insiden ranjau darat dan pengeras suara bulan lalu.
Adapun Teguh mengatakan penyatuan kembali Korea merupakan keinginan masyarakat di kedua negara. Sejauh ini, masih ada perbedaan pandangan dalam upaya mewujudkan hal itu.
Tetapi Teguh percaya, dialog di antara kedua Korea akan menjadi pondasi paling baik dalam membangun jalan menuju perdamaian dan seterusnya persatuan.
Setelah dipisahkan kekuatan Barat dan Timur pada 1945, kedua Korea akhirnya terlibat dalam perang saudara pada 1950 hingga 1953. Kedua negara telah menyepakati perjanjian gencatan senjata di tahun 1953.
"Gencatan senjata itu dikenal sebagai negative peace dimana yang hilang hanya kekerasan saja, sementara pada praktiknya kedua negara masih dalam status perang. Untuk mencapai positive peace, kedua negara harus mau mengubah status gencatan senjata menjadi perjanjian damai,” jelas Teguh.
"Perjanjian damai dibutuhkan sebelum pembicaraan unifikasi atau reunifikasi dimulai kembali," demikian Teguh.
Seretaris Dewan Kehormatan PWI Wina Armada Sukardi menambahkan, melaporkan peristiwa sesuai dengan fakta menjadi komitmen yang dijunjung tinggi oleh setiap jurnalis. Laporan-laporan mengenai situasi Semenanjung Korea yang tidak tendensius dan berorientasi perdamaian sangat dibutuhkan untuk menciptakan perdamaian yang sesungguhnya di Semenanjung Korea.
Pada tahun 2003, Korea Selatan dan Korea Utara bersama empat negara lain, Jepang, China, Amerika Serikat dan Rusia, memulai pembicaraan segienam atau six party talk. Namun pada 2009 Korea Utara menarik diri dari pembicaraan itu. Setelah itu terjadi sejumlah insiden yang sempat membahayakan perdamaian di Semenanjung Korea. Misalnya insiden Cheonan pada Maret 2010, insiden Pulau Yeonpyeong pada November 2011, dan terakhir insiden ranjau darat dan pengeras suara pada Agustus 2015. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA